Jumat, 26 Juli 2013

RENUNGAN UNTUK KITA BERSAMA

Dewasa ini timbul pendapat pada sebagian  masyarakat kita mengatakan bahwa ilmu-ilmu dalam Islam dapat dipelajari sendiri tanpa harus memiliki sanad. Ironisnya, kelompok ini dalam praktek belajar ilmu-ilmu agama hanya terpaku kepada selebaran, buletin, jurnal, browsing internet, secara virtual , dan  berbagai media elektronik lainnya. Betul, kita tindak mengingkari ada banyak nilai-nilai positif dari media teknologi yang di manapun dan kapanpun dapat kita “nikmati”, sebagaimana kita juga tidak bisa enutup mata dari sisi-sisi negatifnya. Seharusnya, kita tetap memposisikan media teknologi informasi tersebut murni sebagai pembawa “Informasi” yang sangat butuh kepada klarifikasi (tabayyun) , tidak menjadikannya guru utama (guru besar), atau menjadikannya sebagai rujukan apapun dalam segala pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu agama. Kita semua yakin bahwa media internet dengan segala konten di dalamnya mengandung berbagai sisi baik, juga mengandung sisi buruk. Kalau boleh sedikit “kasar” kami menyebutnya laksana tong sampah; di dalamnya apapun ada. Sesungguhnya, seorang yang emiliki sanad maka berarti ia dapat mempertanggungjawabkan kebenaran cara beragama yang dipraktekannya. Sikap apriori dari beberapa kelompok masyarakat kita yang “anti” terhadap naskah-naskah klasik (Kitab
Kuning) tidak lain adalah karena didasarkan kepada hawa nafsu belaka dan karena mereka sendiri tidak memiliki sanad dalam keilmuan dan dalam cara beragama mereka.
Ada pula sebagian orang pada masyarakat kita mengatakan bahwa mereka tidak butuh kepada mendapat para ulama terdahulu dengan alasan bahwa mereka sendiri telah dapat memahami teks-teks syari’at. Bahkan terkadang ungkapan mereka ini diselingi dengan “caci maki” terhadap para imam madzhab empat, atau terhadap para ulama terkemuka lainnya. Biasanya mereka membuat propaganda dengan slogan-slogan “ngawur”, seperti: “Kami tidak membutuhkan madzhab”, atau: “Madzhab kami hanya al-Qur’an dan Sunnah”, atau kadang mereka berkata: “ Nahnu Rijâlun Wa Hum Rijâlun (Kita manusia dan mereka –para ulama– juga manusia)”, atau: “Sumber kita murni; al-Qur’an dan Sunnah, kita tidak mengambil dari karya- karya para ulama (kitab kuning)”. Bahkan ada yang lebih parah dari itu semua dengan mengatakan bahwa ILMU YANG TELAH DIBUKUKAN ULAMA2 KLASIK SEPERTI NAHWU, SHOROF, MANTHIQ, BALAGHOH, USHUL. FIQIH adalah BID’AH DLOLALAH. Na’udzu Billah. Perkataan orang-orang semacam ini justru menegaskan bahwa mereka tidak paham terhadap kandungan al-Qur’an dan Sunnah.
Segala praktek ibadah dan keyakinan orang-orang semacam ini patut dipertanyakan. Dari manakah ereka memahami teks-teks syari’at? Siapakah yang telah membawa teks-teks syari’at tersebut hingga turun kepada mereka? Atau kita mulai dengan pertanyaan sederhana ini; “Apakah mereka faham  ahasa Arab?”, “Apakah mereka hafal dan faham ayat-ayat dan hadits ahkam dengan berbagai aspek di dalamnya; semisal ‘am khash, mutlaq muqayyad, nasikh mansukh, sabab an-nuzul dan lainnya?”, Tahukan mereka apa definisi istiqro’ dan istibra’ ? Apakah mereka merasa lebih paham terhadap ajaran
agama ini dibanding para ulama? Sungguh sangat “mengkhawatirkan”, jangan-jangan mereka yang sangat anti terhadap madzhab tidak mengetahui berapa rukun wudlu mengingat hal tersebut tidak dijelaskan secara shorih oleh Al Qur-an dan Al Hadist. ada sedikit cerita mengenai orang yang anti terhadap guru bahkaan dia dengan entengnya mengatakan bahwa mempelajari ilmu cukup dengan membaca, pada suatu ketika dia menemukan resep obat dan di bukunya tertulis (dalam bahasa arab) hayyatu as sauda’ (ular hitam) yang seharusnya habbatu as sauda’ (jinten hitam) walhasil akhirnya orang tersebut meninggal dunia karena kesombonganya enggan berguru.. coba kita bayangkan, padahal kesalahan tulisan hanya terjadi pada jumlah “titiknya” saja… lantas kalau kesalahan terjadi pada huruf atau mungkin bahkan lafadznya apa yang akan terjadi,???
Wa Allah A’lam

Tidak ada komentar: