Kamis, 25 Juli 2013

Aku Bongkar Borokmu.....



Katakan padaku, apa saja yang telah kamu lakukan ketika tidak berada di dekatku? Ceritakan kepadaku hal-hal buruk apa yang pernah kamu kerjakan selama ini? Seandainya samua rahasia kamu ada dalam genggamanku, misalnya aku tahu siapa kamu seperti kamu tahu siapa diri kamu, maka boleh jadi kamu akan membunuhku.

Para tokoh, pembesar, ilmuwan, ulama, da’i, rohaniawan dan siapa pun dalam sekejap bisa saja menjelma menjadi tissue lecek yang orang akan menyingkirkannya ke tempat sampah dengan ujung kuku. Performance pribadi yang arif bijaksana, elegan, anggun dan berwibawa mendadak sirna ketika terkuak borok-boroknya di depan umum.

Aib. Siapa sih manusia dewasa yang tidak punya aib? Mereka yang kini mendekam di balik jeruji penjara adalah orang-orang yang bernasib nahas terbongkar aibnya. Ada juga tokoh panutan, kharismatik dan memiliki pengaruh akhirnya cuma menjadi keledai bodoh ketika perbuatan khilapnya di ketahui khalayak.

Aib yang terkuak membuat sorot mata tertahan, langkah yang terhenti dan terpuruknya harga diri. Demikianlah manusia, keluhuran derajatnya selalu di ujung tanduk. Oleh karenanya, manusia yang memiliki kemulyaan di sisi Tuhan hanyalah diukur dari ketakwaannya. Inna akromakum ‘indallaahi atqookum (sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa) QS 49:13.

Begitu vitalnya aib bagi harga diri seseorang, sehingga Tuhan pun menjaga aib hambanya dengan sangat ketat. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, ketika kemarau yang sangat panjang Nabi Musa bersama ribuan umatnya berkumpul di sebuah padang pasir tandus. “Ilahi…asqinaa ghoisak, wanshur ‘alaina…rohmatak…..!” Mereka berdoa kepada Tuhan-Nya agar segera diturunkan hujan. Namun hujan tidak juga turun. Bahkan tak sedikit pun nampak tanda-tanda akan segera turun hujan. Sehingga mereka pun mengulangi do’anya sampai berulang-ulang.

Sampai akhirnya Tuhan pun berfirman kepada Musa, “Bagaimana aku akan menurunkan hujan jika ada di tengah-tengah kalian seseorang yang bermaksiat kepadaku sejak empat puluh tahun yang lalu. Umumkanlah agar dia berdiri di hadapan kalian semua. Karena dialah Aku tidak mengabulkan do’a kalian”.

Musa pun segera berseru kepada umatnya, “Wahai hamba yang bermaksiat kepada Tuhan selama empat puluh Tahun! Tunjukan dirimu. Karena kamulah Tuhan tidak mengabulkan do’a kita!”
Tak seorang pun dari ribuan umat Musa bereaksi. Hanya ada seorang lelaki yang tampak gamang dengan duduknya. Dia menoleh kanan kiri, dan tak dilihatnya seseorang yang berdiri. Sadarlah ia, dirinyalah yang dimaksudkan Musa.

Lelaki itu tetap bergeming dengan sikapnya. Hatinya gundah-gulana. Kalau mengaku, maka aib dirinya akan diketahui semua orang, tetapi kalau tidak mengaku maka Tuhan tidak akan segera menurunkan hujan. Dengan linangan air mata, lelaki itu pun berbisik, “Ya Allah, hamba sudah bermaksiat kepada-Mu selama empat puluh tahun. Selama itu pula Engkau telah menutupi aibku dari manusia. Sekarang hamba bertaubat, terimalah taubat hamba ya Allah!”

Dan Tuhan pun segera menurunkan hujan. Musa yang keheranan pun bertanya kepada Tuhannya, “ Engkau telah menurunkan hujan, pada hal belum ada seorang pun yang berdiri menunjukan diri kepada kami?”

Allah berfirman, “Aku menurunkan hujan oleh karena hamba yang telah menyebabkan hujan tidak turun.”

“Tunjukan padaku, siapa hamba itu ya Allah?” pinta Musa.

“Wahai Musa, Aku telah menutupi aibnya padahal dia bermaksiat pada-Ku.. Apakah aku akan membuka aibnya setelah sekarang dia taat kepada-Ku?”

Aib, sudah seharusnya tetap menjadi rahasia antara pemilik aib dengan Tuhannya. Siapa pun tidak berhak membongkar aib, bahkan termasuk si pemilik aib sendiri. Tereksposnya aib berarti tersebarnya keburukan di masyarakat yang sangat berpotensi bahaya terlibatnya masyarakat luas dalam keburukan yang sama.

Keburukan yang terus-menerus disebarluaskan ke tengah-tengah masyarakat justru merubah keburukan itu menjelma menjadi sesuatu yang biasa. Hilang kekhawatiran dari bahaya keburukan yang sudah dianggap menjadi sesuatu yang umum.

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah bersabda, dan barangsiapa menutupi aib seorang muslim maka niscaya Allah akan menutupi aibnya ketika di dunia dan di akhirat. An-Nawawi merinci maksud dari hadist ini dalam kitabnya al-Biir wa ash Shilah, menutup aib yang dianjurkan adalah apa bila yang memiliki aib tersebut orang yang dikenal tidak biasa melakukan keburukan dan kerusakan.

Sedang apa bila orang tersebut sudah dikenal sering berbuat keburukan dan kerusakan maka justru harus dibongkar aibnya dan dilaporkan kepada yang berwenang karena dikhawatirkan orang tersebut akan semakin berani mengulangi perbuatannya.

Bahkan untuk seseorang yang telah melakukan dosa besar sehingga atas dirinya bisa dituntut hukuman berat, maka Rasulullah meneladani untuk tidak menjatuhkan had tetapi memberikan kepadanya kesempatan untuk bertaubat.

Anas bin Malik bercerita, suatu ketika datang kepada Rasulullah seorang lelaki seraya berkata, “Wahai Rasulullah, seseungguhnya aku layak mendapat hukuman had, maka laksanakanlah…”

Anas bin Malik berkata, “Dan beliau tidak menanyakan apa yang relah dilakukannya.” Seusai sholat orang tadi mengulangi perkataannya. Rasulullah menjawab, “Alaisa qod sholaita ma’anaa? (Bukankah kamu telah sholat bersama kami?)” Lelaki itu menjawab, “benar!” Dan Rasulullah menjawab, “fainnallaha qod ghofaro dzambak. (sesungguhnya Allah telah mengampuni dosamu.”

Demikian terhormatnya kehormatan seorang muslim, sehingga Rasulullah pun tidak ingin lebih jauh mendengar aib yang telah dilakukan lelaki itu. Melaksanaksanakan hukuman had kepada pelaku dosa besar yang telah taubat tidak lebih penting dari menutupi aib seorang muslim.

Entahlah dengan era kini, yang orang demikian mudahnya mendapat informasi apa saja dari berbagai media apa saja. Bukan hanya informasi yang bernilai berita tetapi juga informasi pribadi seseorang yang mungkin ingin diketahui orang banyak.

Infotainment, misalnya. Sedemikian boomingnya keingintahuan masyarakat tentang seseorang yang disebut sebasgai public figure, sampai-sampa fungsi informasi berubah menjadi tajassus atau mencari-cari sesuatu yang salah dari seseorang.

Sedemikian maraknya infotainment, sampai-sampai prilaku yang sebenarnya luar biasa menjadi biasa. Misalnya, artis A pergi liburan berdua dengan pacarnya ke luar negeri. Pasangan artis B dan C masih belum berkomitmen meskipun sudah kumpul serumah. Atau yang lebih heboh lagi, seorang seleb merasa sedang mendapat anugerah yang sangat luar biasa yaitu mendapat titipan calon bocah dikandungannya. Padahal dia belum pernah menikah, dan siapakah bapaknya? Ada deh!

Boleh jadi, moral yang menyimpang bukan merupakan aib bagi sebagian orang. Karena kehormatan mereka ada dalam tumpukan uang dan gelimang harta benda. Tetapi maraknya pemberitaan tingkah polah mereka setidaknya melahirkan kebimbangan dalam hati maysarakat. Aibkah, atau wajarkah perilaku-perilaku sebagian para seleb yang secara terang-terangan menafikan ajaran agma yang mungkin mereka anut?

Seandainya Tuhan membuka aib para da’i, ustadz atau kiai mungkinkah kita masih mendengar fatwa dan ceramahnya?. Tuhan yang maha tahu saja, menutupi aib para hamba-Nya, tetapi manusia jika sedikit saja mengetahui aib orang lain maka dia akan berteriak-teriak kegirangan, seperti anak kecil yang mendapat layangan lepas.... ASTAGHFIRULLAH ,.. ALLAHUMMASTURNII BISITRIKAL JAMIIL

Tidak ada komentar: