Keprihatinan yang dalam akan kita
rasakan, kalau kita melihat ulah generasi muda Islam saat ini yang cenderung
liar dalam bermain musik atau bernyanyi. Mungkin mereka berkiblat kepada
penyanyi atau kelompok musik terkenal yang umumnya memang bermental bejat dan
bobrok serta tidak berpegang dengan nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga,
mereka cukup sulit atau jarang mendapatkan teladan permainan musik dan nyanyian
yang Islami di tengah suasana hedonistik yang mendominasi kehidupan saat ini.
Walhasil, generasi muda Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik
atau penyanyi sekuler yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio,
kaset, VCD, dan berbagai media lainnya.
Tak dapat diingkari, kondisi
memprihatinkan tersebut tercipta karena sistem kehidupan kita telah menganut
paham sekularisme yang sangat bertentangan dengan Islam. Muhammad Quthb
mengatakan sekularisme adalah iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad dîn,
artinya, mengatur kehidupan dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau dalam
bahasa yang lebih tajam, sekularisme menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani
adalah memisahkan agama dari segala urusan kehidupan (fashl ad-din ‘an al-hayah)
(Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhâm Al-Islâm, hal. 25).
Dengan demikian, sekularisme sebenarnya tidak sekedar terwujud dalam pemisahan
agama dari dunia politik, tetapi juga nampak dalam pemisahan agama dari urusan
seni budaya, termasuk seni musik dan seni vokal (nyanyian).
Kondisi ini harus segera diakhiri
dengan jalan mendobrak dan merobohkan sistem kehidupan sekuler yang ada, lalu
di atas reruntuhannya kita bangun sistem kehidupan Islam, yaitu sebuah sistem
kehidupan yang berasaskan semata pada Aqidah Islamiyah sebagaimana dicontohkan
Rasulullah Saw dan para shahabatnya. Inilah solusi fundamental dan radikal
terhadap kondisi kehidupan yang sangat rusak dan buruk sekarang ini, sebagai
akibat penerapan paham sekulerisme yang kufur. Namun demikian, di tengah
perjuangan kita mewujudkan kembali masyarakat Islami tersebut, bukan berarti
kita saat ini tidak berbuat apa-apa dan hanya berpangku tangan menunggu
perubahan. Tidak demikian. Kita tetap wajib melakukan Islamisasi pada hal-hal
yang dapat kita jangkau dan dapat kita lakukan, seperti halnya bermain musik
dan bernyanyi sesuai ketentuan Islam dalam ruang lingkup kampus kita atau
lingkungan kita.
Tulisan ini bertujuan menjelaskan
secara ringkas hukum musik dan menyanyi dalam pandangan fiqih Islam. Diharapkan,
norma-norma Islami yang disampaikan dalam makalah ini tidak hanya menjadi bahan
perdebatan akademis atau menjadi wacana semata, tetapi juga menjadi acuan dasar
untuk merumuskan bagaimana bermusik dan bernyanyi dalam perspektif Islam.
Selain itu, tentu saja perumusan tersebut diharapkan akan bermuara pada
pengamalan konkret di lapangan, berupa perilaku Islami yang nyata dalam
aktivitas bermain musik atau melantunkan lagu. Minimal di kampus atau
lingkungan kita.
2. Definisi Seni
Karena bernyanyi dan bermain musik
adalah bagian dari seni, maka kita akan meninjau lebih dahulu definisi seni,
sebagai proses pendahuluan untuk memahami fakta (fahmul waqi’) yang
menjadi objek penerapan hukum. Dalam Ensiklopedi Indonesia
disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam
jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam
bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera
pendengar (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari,
drama) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam,
hal. 13).
Adapun seni musik (instrumental
art) adalah seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang
keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara lain cara memainkan
instrumen musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni
musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa
vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni instrumentalia, seperti
telah dijelaskan di muka, adalah seni yang diperdengarkan melalui media
alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah seni yang diungkapkan dengan cara
melagukan syair melalui perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen
musik. Seni vokal tersebut dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal
(gitar, biola, piano, dan lain-lain) atau dengan alat-alat musik majemuk
seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya (Dr. Abdurrahman
al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13-14). Inilah
sekilas penjelasan fakta seni musik dan seni vokal yang menjadi topik
pembahasan.
3. Tinjauan Fiqih Islam
Dalam pembahasan hukum musik dan
menyanyi ini, penulis melakukan pemilahan hukum berdasarkan variasi dan
kompleksitas fakta yang ada dalam aktivitas bermusik dan menyanyi. Menurut
penulis, terlalu sederhana jika hukumnya hanya digolongkan menjadi dua, yaitu
hukum memainkan musik dan hukum menyanyi. Sebab fakta yang ada, lebih
beranekaragam dari dua aktivitas tersebut. Maka dari itu, paling tidak, ada 4
(empat) hukum fiqih yang berkaitan dengan aktivitas bermain musik dan menyanyi,
yaitu:
Pertama, hukum melantunkan nyanyian (ghina’).
Kedua, hukum mendengarkan nyanyian.
Ketiga, hukum memainkan alat musik.
Keempat, hukum mendengarkan musik.
Di samping pembahasan ini, akan
disajikan juga tinjauan fiqih Islam berupa kaidah-kaidah atau patokan-patokan
umum, agar aktivitas bermain musik dan bernyanyi tidak tercampur dengan
kemaksiatan atau keharaman.
Ada baiknya penulis sampaikan, bahwa
hukum menyanyi dan bermain musik bukan hukum yang disepakati oleh para fuqaha,
melainkan hukum yang termasuk dalam masalah khilafiyah. Jadi para ulama
mempunyai pendapat berbeda-beda dalam masalah ini (Syaikh Abdurrahman
al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, hal.
41-42; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas,
hal. 96; Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam,
hal. 21-25; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan
Seni Tari Dalam Islam, hal. 3). Karena itu, boleh jadi pendirian
penulis dalam tulisan ini akan berbeda dengan pendapat sebagian fuqaha atau
ulama lainnya. Pendapat-pendapat Islami seputar musik dan menyanyi yang berbeda
dengan pendapat penulis, tetap penulis hormati.
3.1. Hukum Melantunkan Nyanyian (al-Ghina’
/ at-Taghanni)
Para ulama berbeda pendapat mengenai
hukum menyanyi (al-ghina’ / at-taghanni). Sebagian mengharamkan
nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan. Masing-masing mempunyai dalilnya
sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil masing-masing, seperti diuraikan oleh al-Ustadz
Muhammad al-Marzuq Bin Abdul Mu’min al-Fallaty mengemukakan dalam kitabnya Saiful
Qathi’i lin-Niza’ bab Fi Bayani Tahrimi al-Ghina’ wa Tahrim Istima’
Lahu (Musik. http://www.ashifnet.tripod.com),/
juga oleh Dr. Abdurrahman al-Baghdadi dalam bukunya Seni dalam
Pandangan Islam (hal. 27-38), dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki
dalam Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas (hal. 97-101):
A. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan
Nyanyian:
a.
Berdasarkan firman Allah:
“Dan di antara manusia ada orang
yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk
menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan
Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Qs.
Luqmân [31]: 6)
Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal
hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya al-Hasan,
al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.
Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil
pengharaman nyanyian adalah Qs. an-Najm [53]: 59-61; dan Qs. al-Isrâ’
[17]: 64 (Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu?
(al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 20-22).
b.
Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya akan ada di
kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat
musik (al-ma’azif).” [HR. Bukhari, Shahih Bukhari,
hadits no. 5590].
c.
Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan
nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau
mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu
Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih].
d.
Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda:
“Nyanyian itu bisa menimbulkan
nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.” [HR. Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi,
hadits mauquf].
e.
Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda:
“Orang yang bernyanyi, maka Allah
SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan
memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.” [HR.
Ibnu Abid Dunya.].
f.
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra bahwa Rasulullah Saw
bersabda:
“Sesungguhnya aku dilarang dari
suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan
dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika
mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya
dengan ratapan syetan (rannatus syaithan).”
B. Dalil-Dalil Yang Menghalalkan
Nyanyian:
a.
Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan
janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
b.
Hadits dari Nafi’ ra, katanya:
Aku berjalan bersama Abdullah Bin
Umar ra. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup
telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi,
masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia
lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Saw.”
[HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi].
c.
Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:
Nabi Saw mendatangi pesta
perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu
mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka
menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba
salah seorang di antara mereka berkata: “Di antara kita ada Nabi Saw yang
mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda:
“Tinggalkan omongan itu.
Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalam Fâth
al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].
d.
Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar.
Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda:
“Mengapa tidak kalian adakan
permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.” [HR. Bukhari].
e.
Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia
sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju.
Lalu Hasan berkata:
“Aku pernah bersyi’ir di masjid
dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)” [HR.
Muslim, juz II, hal. 485].
C. Pandangan Penulis
Dengan menelaah dalil-dalil tersebut
di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan nampak adanya kontradiksi (ta’arudh)
satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu melihat kaidah-kaidah
ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama untuk menyikapi secara
bijaksana berbagai dalil yang nampak bertentangan itu.
Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua
hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa
yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah
satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya
global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir).
Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum),
meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu (Imam asy-Syaukani, Irsyadul
Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, hal. 275).
Karena itu, jika ada dua kelompok
dalil hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat adalah
melakukan kompromi (jama’) di antara keduanya, bukan menolak salah
satunya. Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan
diberi pengertian yang memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada
melakukan tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan menolak yang lainnya.
Dalam hal ini Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah menetapkan kaidah
ushul fiqih:
Al-‘amal bi ad-dalilaini —walaw min
wajhin— awlâ min ihmali ahadihima
“Mengamalkan dua dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih
utama daripada meninggalkan salah satunya.” (Syaikh Dr. Muhammad Husain
Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh, hal. 390).
Prinsip yang demikian itu
dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk
ditanggalkan (tak diamalkan). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan:
Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ
al-ihmal “Pada dasarnya dalil itu adalah
untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan.” (Syaikh Taqiyuddin
an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 1, hal. 239).
Atas dasar itu, kedua dalil yang
seolah bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut : bahwa dalil yang
mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan,
menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian (takhsis), yaitu bolehnya
nyanyian pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’,
seperti pada hari raya. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan
menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang menghalalkan,
menunjukkan bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada batasan atau
kriterianya) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan
Islam, hal. 63-64; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash
wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 102-103).
Dari sini kita dapat memahami bahwa
nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan. Nyanyian haram
didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang
disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul),
perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yâ’), misalnya disertai
khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita), atau
syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya mengajak pacaran, mendukung
pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan
sebagainya. Nyanyian halal didasarkan pada dalil-dalil yang
menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan
atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT,
mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut
ilmu, menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya (Dr. Abdurrahman
al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 64-65; Syaikh
Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal.
103).
3.2. Hukum Mendengarkan Nyanyian
a. Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama’
al-Ghina’)
Hukum menyanyi tidak dapat disamakan
dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara
melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina’) dengan mendengar lagu (sama’
al-ghina’). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-‘âl
(perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara’ (at-taqayyud
bi al-hukm asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-‘âl
jibiliyah, yang hukum asalnya mubah. Af-‘âl jibiliyyah adalah
perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari penciptaan manusia,
seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki, menggerakkan tangan, makan,
minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang
tergolong kepada af-‘âl jibiliyyah ini hukum asalnya adalah mubah,
kecuali adfa dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan:
Al-ashlu fi al-af’âl al-jibiliyah
al-ibahah “Hukum asal perbuatan-perbuatan
jibiliyyah, adalah mubah.” (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash
wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96).
Maka dari itu, melihat —sebagai
perbuatan jibiliyyah— hukum asalnya adalah boleh (ibahah). Jadi, melihat
apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon, batu, kerikil, mobil, dan
seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan dalil khusus untuk
membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh menurut syara’. Hanya
saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan melihat sesuatu, misalnya melihat
aurat wanita, maka pada saat itu melihat hukumnya haram.
Demikian pula mendengar. Perbuatan
mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah, sehingga hukum asalnya adalah boleh.
Mendengar suara apa saja boleh, apakah suara gemericik air, suara halilintar,
suara binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja di
sini ada sedikit catatan. Jika suara yang terdengar berisi suatu aktivitas
maksiat, maka meskipun mendengarnya mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi
munkar, dan tidak boleh mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang
mengatakan, “Saya akan membunuh si Fulan!” Membunuh memang haram. Tapi
perbuatan kita mendengar perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak
haram. Hanya saja kita berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap
orang tersebut dan kita diharamkan mendiamkannya.
Demikian pula hukum mendengar
nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah, bagaimanapun juga
nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya
mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita
tidak dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi
Saw bersabda:
“Siapa saja di antara kalian
melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya (kekuatan fisik).
Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika tidak mampu,
ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu adalah selemah-lemah
iman.” [HR. Imam Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu
Majah].
b. Hukum Mendengar Nyanyian Secara
Interaktif (Istima’ al-Ghina’)
Penjelasan sebelumnya adalah hukum
mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’). Ada hukum lain, yaitu mendengarkan
nyanyian secara interaktif (istima’ li al-ghina’). Dalam bahasa Arab,
ada perbedaan antara mendengar (as-sama’) dengan mendengar-interaktif (istima’).
Mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah sekedar mendengar, tanpa ada
interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan istima’
li al-ghina’, adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya
berupa interaksi dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada
dalam satu forum, berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian sang
penyanyi (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf
an-Nas, hal. 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’)
adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian (istima’
al-ghina’) bukan perbuatan jibiliyyah.
Jika seseorang mendengarkan nyanyian
secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang melingkupinya sama sekali
tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu boleh
mendengarkan nyanyian tersebut.
Adapun jika seseorang mendengar
nyanyian secara interaktif (istima’ al-ghina’) dan nyanyiannya adalah
nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada ikhthilat)
karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu
adalah haram (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf
an-Nas, hal. 104). Allah SWT berfirman:
“Maka janganlah kamu duduk
bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan yang lainnya.” (Qs.
an-Nisâ’ [4]: 140).
“…Maka janganlah kamu duduk
bersama kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi peringatan.” (Qs.
al-An’âm [6]: 68).
3.3. Hukum Memainkan Alat Musik
Bagaimanakah hukum memainkan alat
musik, seperti gitar, piano, rebana, dan sebagainya? Jawabannya adalah, secara
tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan
kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff atau al-ghirbal, atau
rebana. Sabda Nabi Saw:
“Umumkanlah pernikahan dan
tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” [HR. Ibnu Majah] (
Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (Al-I’lam bi
Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 52; Toha Yahya Omar, Hukum
Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 24).
Adapun selain alat musik ad-duff
/ al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada
pula yang menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat Syaikh
Nashiruddin al-Albani. Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani
hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan
sejenisnya, seluruhnya dha’if. Memang ada beberapa ahli hadits yang memandang
shahih, seperti Ibnu Shalah dalam Muqaddimah ‘Ulumul Hadits,
Imam an-Nawawi dalam Al-Irsyad, Imam Ibnu Katsir
dalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Imam Ibnu Hajar dalam Taghliqul
Ta’liq, as-Sakhawy dalam Fathul Mugits, ash-Shan’ani
dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul Afkar juga Syaikh
al-Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim dan masih banyak lagi.
Akan tetapi Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Dha’if
al-Adab al-Mufrad setuju dengan pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla
bahwa hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah Munqathi’ (Syaikh
Nashiruddin Al-Albani, Dha’if al-Adab al-Mufrad, hal. 14-16).
Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, juz VI, hal. 59
mengatakan:
“Jika belum ada perincian dari
Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini
[dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah
terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.” (Dr. Abdurrahman
al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 57).
Kesimpulannya, memainkan alat musik
apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu
yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram.
Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu
mubah.
3.4. Hukum Mendengarkan Musik
a. Mendengarkan Musik Secara
Langsung (Live)
Pada dasarnya mendengarkan musik
(atau dapat juga digabung dengan vokal) secara langsung, seperti show di
panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan semisalnya, hukumnya sama dengan
mendengarkan nyanyian secara interaktif. Patokannya adalah tergantung ada
tidaknya unsur kemaksiatan atau kemungkaran dalam pelaksanaannya.
Jika terdapat unsur kemaksiatan atau
kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi ikhthilat,
atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram.
Jika tidak terdapat unsur
kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah (Dr. Abdurrahman
al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74).
b. Mendengarkan Musik Di Radio, TV,
Dan Semisalnya
Menurut Dr. Abdurrahman
al-Baghdadi (Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74-76) dan Syaikh
Muhammad asy-Syuwaiki (Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal.
107-108) hukum mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan semisalnya,
tidak sama dengan hukum mendengarkan musik secara langsung sepereti show di
panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah),
bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut.
Kemubahannya didasarkan pada hukum
asal pemanfaatan benda (asy-yâ’) —dalam hal ini TV, kaset, VCD, dan
semisalnya— yaitu mubah. Kaidah syar’iyah mengenai hukum asal pemanfaatan benda
menyebutkan:
Al-ashlu fi al-asy-yâ’ al-ibahah ma
lam yarid dalilu at-tahrim “Hukum
asal benda-benda, adalah boleh, selama tidak terdapat dalil yang
mengharamkannya.” (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam
Pandangan Islam, hal. 76).
Namun demikian, meskipun asalnya
adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram, bila diduga kuat akan mengantarkan
pada perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya kewajiban. Kaidah
syar’iyah menetapkan:
Al-wasilah ila al-haram haram “Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya
haram juga.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah
ad-Dustur, hal. 86).
4. Pedoman Umum Nyanyian Dan Musik
Islami
Setelah menerangkan berbagai hukum
di atas, penulis ingin membuat suatu pedoman umum tentang nyanyian dan musik
yang Islami, dalam bentuk yang lebih rinci dan operasional. Pedoman ini disusun
atas di prinsip dasar, bahwa nyanyian dan musik Islami wajib bersih dari segala
unsur kemaksiatan atau kemungkaran, seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4
(empat) komponen pokok yang harus diislamisasikan, hingga tersuguh sebuah
nyanyian atau alunan musik yang indah (Islami):
1.
Musisi/Penyanyi.
2.
Instrumen (alat musik).
3.
Sya’ir dalam bait lagu.
4.
Waktu dan Tempat.
Berikut sekilas uraiannya:
1). Musisi/Penyanyi
a)
Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (khayr / ma’ruf)
dan menghapus kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak
jihad fi sabilillah, mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi,
menentang pergaulan bebas, menentang pacaran, menentang kezaliman penguasa
sekuler.
b)
Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru orang kafir dalam masalah
yang bersangkutpaut dengan sifat khas kekufurannya) baik dalam penampilan
maupun dalam berpakaian. Misalnya, mengenakan kalung salib, berpakaian ala
pastor atau bhiksu, dan sejenisnya.
c)
Tidak menyalahi ketentuan syara’, seperti wanita tampil menampakkan aurat,
berpakaian ketat dan transparan, bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang
laki-laki memakai pakaian dan/atau asesoris wanita, atau sebaliknya, yang
wanita memakai pakaian dan/atau asesoris pria. Ini semua haram.
2). Instrumen/Alat Musik
Dengan memperhatikan instrumen atau
alat musik yang digunakan para shahabat, maka di antara yang mendekati kesamaan
bentuk dan sifat adalah:
a)
Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu bentuknya
seperti genderang untuk membangkitkan semangat.
b)
Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi
instrumen yang biasa dijadikan sarana upacara non muslim.
Dalam hal ini, instrumen yang
digunakan sangat relatif tergantung maksud si pemakainya. Dan perlu diingat,
hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
3). Sya’ir
Berisi:
a)
Amar ma’ruf (menuntut keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya)
dan nahi munkar (menghujat kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan
sebagainya)
b)
Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya.
c)
Berisi ‘ibrah dan menggugah kesadaran manusia.
d)
Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama.
e)
Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
Tidak berisi:
a)
Amar munkar (mengajak pacaran, dan sebagainya) dan nahi ma’ruf
(mencela jilbab,dsb).
b)
Mencela Allah, Rasul-Nya, al-Qur’an.
c)
Berisi “bius” yang menghilangkan kesadaran manusia sebagai hamba Allah.
d)
Ungkapan yang tercela menurut syara’ (porno, tak tahu malu, dan sebagainya).
e)
Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
4). Waktu Dan Tempat
a)
Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu sururin) seperti pesta pernikahan,
hari raya, kedatangan saudara, mendapatkan rizki, dan sebagainya.
b)
Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang wajib).
c)
Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun tempat).
d)
Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat
(campur baur).
5. Penutup
Demikianlah kiranya apa yang dapat
penulis sampaikan mengenai hukum menyanyi dan bermusik dalam pandangan Islam.
Tentu saja tulisan ini terlalu sederhana jika dikatakan sempurna. Maka dari
itu, dialog dan kritik konstruktif sangat diperlukan guna penyempurnaan dan
koreksi.
Penulis sadari bahwa permasalahan
yang dibahas ini adalah permasalahan khilafiyah. Mungkin sebagian
pembaca ada yang berbeda pandangan dalam menentukan status hukum menyanyi dan
musik ini, dan perbedaan itu sangat penulis hormati.
Semua ini mudah-mudahan dapat
menjadi kontribusi —walau pun cuma secuil— dalam upaya melepaskan diri dari
masyarakat sekuler yang bobrok, yang menjadi pendahuluan untuk membangun peradaban
dan masyarakat Islam yang kita idam-idamkan bersama, yaitu masyarakat Islam di
bawah naungan Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah. Amin.
[M. Shiddiq al-Jawi] (www.faridm.com)
Wallahu a’lam bi ash-showab.
Daftar Bacaan
* Abdullah, Muhammad Husain. 1995.
Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh. Cetakan II. (Beirut : Darul Bayariq).
* Al-Amidi, Saifuddin. 1996.
Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam. Juz I. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
* Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1991.
Seni Dalam Pandangan Islam. Cetakan I. (Jakarta : Gema Insani Press).
* Al-Jazairi, Abi Bakar Jabir. 1992.
Haramkah Musik dan Lagu ? (Al-I’lam bi Anna Al-‘Azif wa Al-Ghina Haram). Alih
Bahasa oleh Awfal Ahdi. Cetakan I. (Jakarta : Wala` Press).
* Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999.
Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Juz II. Qism Al-Mu’amalat. Cetakan
I. (Beirut : Darul Fikr).
* Asy-Syaukani. Tanpa Tahun.
Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq min ‘Ilm Al-Ushul.(Beirut : Darul Fikr).
* Asy-Syuwaiki, Muhammad. Tanpa
Tahun. Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas. (Al-Quds : Mu`assasah Al-Qudsiyah
Al-Islamiyyah).
* An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953.
Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul Al-Fiqh). Cetakan II. (Al-Quds :
Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).
* ———-. 1963. Muqaddimah
Ad-Dustur.(t.t.p. : t.p.).
* ———-. 1994. Asy-Syakhshiyah
Al-Islamiyah. Juz I. Cetakan IV. (Beirut : Darul Ummah).
* ———-.2001. Nizham Al-Islam.
(t.t.p. : t.p.).
* Ath-Thahhan, Mahmud. Tanpa Tahun.
Taysir Musthalah Al-Hadits. (Surabaya : Syirkah Bungkul Indah).
* Bulletin An-Nur. Hukum Musik dan
Lagu. http://www.alsofwah.or.id/
* Bulletin Istinbat. Mendengarkan
Musik, Haram ? http://www.sidogiri.com/
* Fatwa Pusat Konsultasi Syariah.
Lagu dan Musik. http://www.syariahonline.com/
* Kusuma, Juanda. 2001. Tentang
Musik. http://www.pesantrenvirtual.com/
* “Norma Islam untuk Musisi,
Instrumen, Sya’ir, dan Waktu”. Musik. http://www.ashifnet.tripod.com/
* Omar, Toha Yahya. 1983. Hukum Seni
Musik, Seni Suara, dan Seni Tari Dalam Islam. Cetakan II. (Jakarta : Penerbit
Widjaya).
* Santoso, Iman. Hukum Nyanyian dan
Musik. http://www.ummigroup.co.id/
* Wafaa, Muhammad. 2001. Metode
Tarjih Atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’ (Ta’arudh Al-Adillah min Al-Kitab wa
As-Sunnah wa At-Tarjih Baynaha). Alih Bahasa oleh Muslich. Cetakan I. (Bangil :
Al-Izzah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar