Tanya jawab
yang ada dalam artikel ini dicuplik dari buku “Apa, Bagaimana dan Siapa Itu
Ahlussunnah Wal Jamaah”, buku ini pada awalnya tertulis dalam huruf arab pego,
kemudian diterjemahkan dan ditulis kembali oleh PC NU Pekalongan. Buku ini
sendiri merupakan materi upgrading tentang ahlussunnah wal jamaah yang
disampaikan KH Bisri Mustofa
di Pondok Pesantren Rembang pada tanggal 3-14 Romadlon 1386/15-26 Desember
1966. Tanya jawab ini merupakan arsip pertanyaan dan jawaban yang disampaikan
dalam acara tersebut. Materi Tanya jawab ini sendiri sangat penting dikaji
kembali oleh generasi muda Islam karena pada era masa kini banyak sekali
pengaburan makna ahlussunnah. KH. Bisri Mustofa adalah menantu dari KH Cholil Harun, Kasingan Rembang. KH Cholil Harun sendiri adalah termasuk salah
satu guru dari KH Mahrus Ali, Lirboyo
dan KH Aqiel, Cirebon
(orang tua dari KH Said Aqiel Siroj,
PBNU). KH Bisri Mustofa
sendiri adalah paman dan orang tua angkat dari Ibu Nyai Chasinah binti KH.
Chamzawi Umar isteri dari pengasuh PP
Salafiyah Syafi'iyah Nurul Huda, Malang, KH A Masduqi Machfudz.
Semoga risalah ini bermanfaat.
Betulkah pintu ijtihad sudah tertutup?
Permasalahannya
bukan sudah tertutup atau belum tertutup akan tetapi memandang telah lama
(beratus-ratus tahun) pintu tidak pernah dimasuki orang.
Mengapa kitab madzhab Syafi’i menyebut ijma’ dan qiyas
sebagai landasan hukum?
Berdasarkan
hadits: تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّّوْا بَعْدَهُمَا كِتَابَ اللهِ
وَسُنَّتِى Maka landasan
hukum di dalam Islam itu hanya dua, yaitu al-Qur’an dan Hadits. Mengapa di
dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i ada dua masukan sebagai landasan hukum, ijma’
dan qiyas?
Kalau menurut
prinsip dari pendirian golongan syi’ah, memang ijma’ dan qiyas itu tidak dapat
digunakan sebagai landasan Hukum. Akan tetapi bagi madzhab Syafi’i dan juga
madzhab mu’tabar yang lain, menggunakan ijma’ dan qiyas sebagai landasan hukum itu,
tidak menyimpang dari Al-Qur’an dan Hadits, sebab Al-Qur’an dan Hadits sendiri
juga memerintahkan supaya kita menggunakan Ijma’ dan Qiyas. Kami persilahkan
baca Al-Qur’an ayat 115 di dalam surat An-Nisa’: وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ اْلهَدَى
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ اْلمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا
تَوَلَّى وَنُصْلِهِ
جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيْرًا.
Barang siapa
menentang Rasul sesudah terang petunjuk baginya dan menuruti selain jalannya
ornag-orang mu’min, maka Allah membiarkan akan dia bersama apa yang dia sukai,
dan Allah akan memasukkan dia di dalam neraka jahannam, sejelek-jelek tempat
kembali. Hadits Shohihain: لاَتَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَتِى ظَاهِرِيْنَ عَلىَ
اْلحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ خِلاَفُ
مَنْ خَالَفَهُمْ. Tidak
henti-hentinya segolongan dari umatku, selalu terang-terangan bersama-sama
membela hak (kebenaran), tidak mempengaruhi mereka tentangan orang-orang yang
menentang kepadanya.
Kami
persilahkan baca ayat surat Al-Hasyr: فَاعْتَبِرُوْا يَا اُولِى اْلأَبْصَارِ
Maka ambil contohlah engkau, hai orang-orang yang mempunyai pengertian. Surat
Amirul Mu’minin Umar bin Khottob yang ditujukan kepada Abi Musa Al-Asy’ari: َالْفَهْمَ
اَلْفَهْمَ فِيْمَا اَدَّى إِلَيْكَ مِمَّا لَيْسَ فِى قُرْآنٍ
وَلاَ فِى سُنَّةٍ، ثُمَّ قِسِ اْلأُمُوْرَ عِنْدَ ذَلِكَ
Pahamilah! Pahamilah! Di dalam apa yang datang kepadamu, daripada yang tidak
ada di dalam Al-Qur’an dan sunah Rasul, kemudian kiaskanlah perkara-perkara itu
ketika perkara-perkara itu tidak ada di dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Mengaku taqlid kepada Imam Syafi’i, padahal hanya tahu
Sulam Safinah, Fathul Qorib dan Fathul Mu’in
Orang-orang
ahli taqlid mengaku taqlid kepada Imam Syafi’i, padahal mereka hanya tahu Sulam
Safinah, Fathul Qorib dan Fathul Mu’in. Apakah itu dapat dibenarkan?
Kitab-kitab
Sulam Safinah, Fathul Qorib, dan lain sebagainya itu adalah kitab-kitab
bermadzhab Syafi’i. mengapa tidak dapat dibenarkan? Tetapi kadang-kadang Fathul
Mu’in itu, di dalamnya terdapat keterangan-keterangan yang tidak cocok dengan
apa yang terdapat dalam kitab Al-Um (Imam Syafi’i)?
Saudara jangan
mengira bahwa kitab Imam Syafi’i itu hanya al-Um saja, tetapi ada lagi yang
lain. Yaitu Al-Imla’ dan Al-Buwaity. Lain daripada itu, Imam Syafi’i juga mempunyai
qoidah-qoidah yang qoidah-qoidah itu adalah poros daripada Al-Qur’an dan Hadits
sehingga kalau ada sesuatu masalah yang tidak terdapat nashnya di dalam
kitab-kitab Imam Syafi’i, masalah itu dapat diselesaikan dengan qoidah-qoidah
Imam Syafi’i oleh para mujtahid madzhab, dan atau mujtahid fatwanya.
Adzan Jum’at dua kali tidak mengubah sunah Rasul?
Di zaman
Rasulullah Abu Bakar dan Umar, adzan Jum’at itu terdapat hanya sekali. Tetapi
di zaman Utsman bin Affan, menjadi dua kali. Apakah itu tidak mengubah sunah
Rasul? Dua kali itu artinya sekali ditambah sekali, bukan? Apakah saudara dapat
menunjukkan dalil yang melarang menambah adzan satu kali? Betul. Akan tetapi
ayat: وَمَا آتَاكُمُ
الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوْا (Al-Asyr ayat 8 )
Memerintahkan
supaya kita mengambil apa yang diberikan oleh Rasul kepada kita. Kita sudah
menjalankan satu kali. Itu adalah yang diberikan Rasulullah kepada kita, dengan
tambahan satu kali. Tambahan satu kali ini meskipun tidak diperintahkan, apakah
dilarang? Bukankah perbuatan itu ada yang dilarang, ada yang diperintahkan dan
ada pula yang tidak dilarang, dan juga tidak diperintahkan. Sehingga di dalam
istilah mantiq disebut “Maani’ul jam’i jaizul kholwi” saudara harus dapat
membedakan antara ibarat
1. ambilah yang hijau, dan tinggalkan yang merah,
2. ambilah yang hijau, dan tinggalkan yang lainnya.
Ibarat ke-1 adalah ibarat maani’ul jam’i jaizul kholwi (hijau dan merah tidak mungkin kumpul, tetapi mungkin benda itu tidak hijau dan tidak merah).
1. ambilah yang hijau, dan tinggalkan yang merah,
2. ambilah yang hijau, dan tinggalkan yang lainnya.
Ibarat ke-1 adalah ibarat maani’ul jam’i jaizul kholwi (hijau dan merah tidak mungkin kumpul, tetapi mungkin benda itu tidak hijau dan tidak merah).
Sedang ibarat
yang ke-2 adalah maani’ul jam’i jaizul kholwi (hijau dan yang lainnnya tidak
mungkin kumpul, dan juga tidak mungkin benda itu tidak hijau dan tidak yang lain
dari pada hijau).
Lalu sebaiknya
bagi kita ini ikut Rasulullah ataukah ikut Utsman bin Affan? Kita ikut Utsman
bin Affan itu juga berarti ikut Rasulullah SAW.sebab Rasulullah telah bersabda:
عَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ.
Apalagi adzan
kedua yang dilakukan sejak zaman Utsman bin Affan itu, sama sekali tidak
ditentang oleh sahabat atau sebagian daripada sahabat di kala itu. Jadi menurut
istilah ushul fiqh sudah menjadi ijma’ sukuti.
Apakah beduk termasuk sunah?
Kalau sunah itu
tidak. Akan tetapi Rasulullah tidak melarang memukul beduk, kalau saudara
melarang itu namanya keterlaluan.
Sunahkah tambahan Sayyidina dalam solawat?
Pada waktu
Rasululah ditanya, bagaimana kami membaca sholawat atas paduka? Rasulullah
menjawab, bacalah “Allahumma Sholli ‘Ala Muhammad Wa ‘Ala Aali Muhammad” tetapi
di dalam keterangan ahli taqlid selalu digunakan tambahan Sayyidina, sunahkah
tambahan itu?
Fathul Mu’in
hanya menerangkan: لاَبَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّد
Tidak ada bahayanya dengan tambahan kalimat sayyidina sebelum kalimat Muhammad.
Adakah pada
saudara dalil yang melarang tambahan sayyidina? لاَ
تَُسَوِّدُنِى فِى الصَّلاَةِ Bukankah hadits
itu melarang membaca sayyidina di dalam sholat?
Di manakah
saudara dapat hadits itu? Saya tanyakan ini sebab sayyada yusayyidu سَيَّدَ -
يُسَيِّدُ di dalam lughoh tidak atau belum
pernah saya menjumpainya, yang ada di dalam lughoh itu sawwada-yusawwidu. سَوَّدَ -
يُسَوِّدُ Jadi termasuk fi’il yang wawiyyul
‘ain, bukan yaiyyul ‘ain sedang kalimat Sayyid itu aslinya saiwid ‘ala wazni
Fa’yil dari Sa’da-Yasudu. Wawu (و)
diganti dengan Ya’ (ي) kemudian ya’
awal di-idghomkan pada ya’ tatsniyah, berdasar: إِنْ يَسْكُنِ
السَّابِقُ مِنْ وَاوٍ وَيَا * وَاتَّصَلاَ
وَمِنْ عُرُوْضٍ عَرِيَا * فَيَاءًا
الوَاوَ اقْلِبَنَّ مُدْغَمَا.
Adapun
masdarnya siyadatan itu asalnya juga siwadatan, kemudian wawu diganti dengan
ya’, seperti qiyam asalnya Qiwam, dan Inqiyad asalnya Inqiwad, berdasarkan: ذَا أَيْضًا
رَوَوْا فِي مَصْدَرِ اْلمُعْتَلِّ عَيْنًا
Lihat
al-Khulashoh bab Ibdal. Apakah saudara juga akan berkata bahwa Tusayyidu itu
asalnya Tusawwidu? Kemudian sekaligus wawu dua diganti dengan ya’ dua? Jika
demikian apakah dasarnya? Baiklah! Andaikata hadits itu shohih, dan benar
Tusayyidu itu asalnya Tusawwidu, itu juga tidak melarang orang membaca
Sayyidina. Sebab arti harfiahnya (letterlijk) adalah ”Jangan engkau mempertuan
aku di dalam sholat”. Kami membaca “sayyidina” itu, tidak kami maksudkan
mempertuan, akan tetapi sekedar menyesuaikan dengan kedudukan Nabi sebagai
Sayyidu Waladi Adam. Bukankah kalimat sayyidu itu artinya tuan, itu dalam
bahasa Arab (Jawa) bendoro?
Tidak selamanya
kalimat sayyidina itu mempunyai arti tuan itu bendoro, tapi juga yang artinya:
yang mulia, yang terhormat, pemimpin bahkan ada yang artinya suami. Bacalah
ayat 55 surat Yusuf. وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى اْلبَابِ.
Tarawih di zaman Umar bin Khattab menjadi dua puluh
rakaat, bagaimanakah itu?
Sholat tarawih
di zaman Rasullah dan Abu bakar As-Shiddiq terdapat hanya delapan rakaat,
tetapi di zaman Umar bin Khottob menjadi dua puluh rakaat, bagaimana itu? Dua
puluh rakaat itu adalah delapan rakaat ditambah dua belas rakaat, adakah pada
saudara itu dalil yang melarang tambahan dua belas rakaat. Lalu bagimanakah
yang lebih baik ikut Rasulullah atau Umar bin Khottob? Kami telah mengikuti
sunah Nabi di dalam yang menjalankan delapan, dan mengikuti sunah Umar bin
Khottob di dalam tambahan dua belas rakaat. Dan kami mengikuti sunah Umar bin
Khottab itu juga dengan dasar perintah Rasulullah SAW. Sebab Rasulullah
bersabda: اِقْتَدُوْا بِالَّذِيْنَ مِنْ بَعْدِى اَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ.
Ikutilah dua orang sesudah aku, Abu bakar dan Umar (HR. Ahmad).
Bagaimana hukumnya tahlil?
Mengapa saudara
tanyakan hukumnya tahlil? Bukankah tahlil itu sighat masdar dari madzi hallala
yang artinya baca Laa Ilaaha Illa Allah. Bukan. Yang saya maksud adalah tahlil
menurut istilah yang berlaku di kampung-kampung itu. Tahlil menurut istilah
yang berlaku di kampung-kampung, kota-kota bahkan seluruh penjuru adalah berisi
bacaan Laa Ilaaha Illa Allah, Subhaana Allah wa bi Hamdihi, Astaghfirullah al
Adzim, sholawat, ayat-ayat al Quran, fatihah, Muawwidzatain dan sebagainya
apakah saudara juga masih tanya hukumnya?
Apakah pahala
tahlil itu pasti sampai kepada orang yang ditahlilkannya? Pasti sampai itu
tidak, kami dan saudara sama-sama tidak tahu. Akan tetapi si pembaca tahlil
itu, memohon kepada Allah hendaknya pahala tahlil yang disampaikan kepada yang
ditahlilkannya.
Apakah yang
demikian itu tidak bertentangan dengan ayat: وَأَنَّ لَيْسَ لِْلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا
سَعَى
Bahwa manusia
itu tidak mendapat pahala kecuali pahala hasil amalnya sendiri. Sehingga
seseorang tidak dapat menerima manfaat dari orang lain. Itu memang wajar. Juru
tulis tidak mendapat gaji kecuali gaji sebagai juru tulis, dan tidak mendapat
gajinya gubernur. Juga yang bukan juru tulis dia tidak akan bisa mendapatkan
gajinya juru tulis. Demikian pula orang yang membaca kalimat Thoyyibah, dia
tidak bisa mendapat pahala, kecuali pahalanya sebagai pembaca kalimat Thoyibah,
dan tidak bisa mendapatkan pahalanya membaca Al-Qur’an 30 Juz. Juga yang tidak
dapat membaca kalimat Thoyyibah, dia tidak dapat mendapat pahalanya membaca
kalimat Thoyyibah. Akan tetapi soalnya kita memohon kepada Allah yang Maha
Murah, agar pahala tahlil kita disampaikan kepada orang-orang yang dimaksud.
Apa salahnya memohon? Sebagaimana halnya orang-orang yang berdosa besar selain
syirik, untuk dihapus dosanya, dia harus bertaubat, tetapi kita memohon kepada
Allah Ta’ala: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ
عَنْهُ
Kalau memang
orang itu diberi ampunan oleh Allah Ta’ala itu yang kita harapkan. Kalau tidak,
itu adalah semata-mata kekuasaaan Allah sendiri. Saya kira saudara ada lebih
baik, tidak mempersempit rahmat Allah yang sangat besar, lagi maha luhur itu.
Lain dari pada ayat: وَأَنَّ لَيْسَ لِْلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
Itu adalah ayat
‘Amah Makhshushoh. Saudara saya persilahkan baca tafsir-tafsir yang Mu’tabar.
Masalah-masalah yang dikeluarkan dari ayat ini banyak sekali. Yaitu
masalah-masalah dimana orang dapat menerima manfaat dari amalnya orang lain.
Sebagai contoh:
- Mayit dapat manfaat sesuatu, karena do’anya orang lain ( اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ)
- Rasulullah dapat memberi syafaat kepada Ahlil Mauquf Fi Al Hisab.
- Rasululah dapat memberi syafaat kepada orang yang berdosa besar sehingga mereka dapat dikeluarkan dari neraka. Bukankah yang demikian itu berarti bahwa seseorang menerima manfaat dari amalnya orang lain?
- Malaikat memohonkan ampun kepada penghuni Bumi.
- Allah Ta’ala dapat mengeluarkan dari neraka, orang-orang yang sama sekali tidak pernah beramal baik, dan dimasukkan di dalam surga dengan rahmat Allah. Bukankah yang demikian itu berarti bahwa seseorang telah menerima manfaat tidak dari hasilnya sendiri?
- Anak-anaknya orang mu’min yang belum sampai umur, mereka dapat masuk surga tidak karena amalnya sendiri, akan tetapi sebab amalnya orang-orang tua mereka.
- Dua anak yatim yang diceritakan di dalam kisah Nabi Allah Khidir, Allah Ta’ala bersabda: وَكَانَ اَبُوْهُمَا صَالِحًا Kisah ini memberikan kesimpulan bahwa dua anak yatim ini, mendapat manfaat, sebab kebaikan ayahnya, bukankah ini keluar daripada jiwa: وَأَنَّ لَيْسَ لِْلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
- Mayit, dapat menerima manfaat Bis Shodaqoh Anhu Wa Bil ‘Atiq, dengan nash sunah dan Ijma’
- Haji dapat gugur dari mayit, dengan amal hajinya salah satu dari walinya bi Nash assunah.
- Haji Nadzar atau puasa nadzar dapat gugur dengan amalnya orang lain, bi Nash assunnah.
- Ada orang mati di zaman Rasulullah, orang itu banyak mempunyai hutang, pada waktu itu Rasulullah tidak mau mensholatkan. Sehingga Abu Qotadah membayar hutangnya mayit itu. Baru Rasulullah mau mensholatkan. Bukankah ini terang-terangan bahwa si mayit mendapat manfaat berupa sholatnya Rasulullah atasnya, sebab amal orang lain, yaitu qotadah yang telah membayar hutang si mayit.
- Rasulullah melihat ada orang sholat munfarid. Beliau berkata:”Tidakkah ada seseorang yang mau shodaqoh kepada orang itu, yaitu mau sholat bersama dia, agar banyak hasil fadlilah jama’ah.”
- Seorang yang banyak hutang, dia dapat bebas dari tanggungannya apabila hutangnya dibayar lunas oleh orang lain.
- Orang yang ikut duduk di dalam majlis ahli dzikir, dia turut mendapat rahmat, meskipun dia tidak turut dzikir.
- Jama’ah sholat yang lebih besar jumlahnya, pahalanya ada lebih besar daripada jama’ah yang kecil jumlahnya. (bukankah kebesaran pahala itu disebabkan amal orang lain?). Allah Ta’ala berfirman: وَمَاكَانَ اللهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيْهِمْ Tidaklah Allah itu menyiksa mereka sedang engkau berada di tengah-tengah mereka.
- Bukankah manfaat tidak diturunkannya siksa kepada mereka itu sebab orang lain? Rasulullah bersabda: لَوْلاَ عِبَادٌ ِللهِ رُكَّعٌ وَصِبْيَةٌ رُضَّعٌ وَبَهَائِمٌ رُتَّعٌ لَصُبَّ عَلَيْكُمُ اْلعَذَابُ صَبًّا Andaikata tidak ada orang-orang yang ibadah kepada Allah yang sama ruku’ dan anak-anak yang masih menyusui dan binatang-binatang yang sama mencari makanan, maka dituangkan atas kamu sekalian siksaan, benar-benar dituangkan. (HR. At-Thobroni dan Al-Baihaqi). Bukankah manfaat tidak diturunkannya siksa Allah ini, sebab orang lain? Dan masih banyak lagi.
Semua bid’ah sesat, mengapa ada bid’ah hasanah dan bid’ah
sayyiah?
Saya pernah
dengar hadits: كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Semua bid’ah itu sesat Tetapi saya juga dengar dari kyai-kyai katanya bid’ah
itu ada bid’ah hasanah dan ada bid’ah sayyiah, mana itu yang benar? Kalau
bid’ah Dholalah itu lafadnya umum, tiap-tiap lafad umum yaitu biasanya
kemasukan takhsis, contohnya:
Hadits: كُلُّ شَيْئٍ
خُلِقَ مِنَ اْلمَاءِ Segala sesuatu itu dibikin dari air
Apakah malaikat juga dibikin dari air? Iblis apakah dari air?
Hadits: كُلُّ مُسْكِرٍ
خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ Segala yang
memabukan itu khomer, dan semua khomer itu haram Kecubung itu memabukan, apakah
itu juga namanya khomer? Khomer bagi orang yang مُضْطَرٌّ
apakah juga haram hukumnya?
Hadits: كُلُّكُمْ رَاعٍ
وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ
Semua kamu itu penggembala, dan semua kamu itu ditanya dari hal ro’iyahnya
Apakah orang gila dan orang makruh, juga masuk dalam hadits ini? Kesemuanya itu
dijawab tidak? Demikian pula kalau bid’ah dholalah. Apakah karena hadits ini
maka saudara sampai hati mengatakan bahwa perbuatan Utsman bin Affan yang
memerintahkan adzan jum’at dua kali itu dholalah? Dan Umar bin Khottob yang
menjalankan tarawih dua puluh rakaat itu juga dholalah? Baca Barzanji yang
isinya sejarah Maulid Nabi itu juga dholalah? Mendirikan pondok pesantren dan
madarasah itu juga dholalah? Dan saudara sendiri yang tidak dholalah. Apalagi kalau
menurut riwayat yang diriwayatakan oleh Ad Dailamy Fi Musnadil Firdausi, hadits
itu berbunyi: كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ إِلاَّ فِي عِبَادَةٍ
Kami
persilahkan melihat Kunuzul Haqoiq fi Hadits Khoirul Kholaiq juz Tsani Shohifah
39. Bagaimana kebenaran hadits berikut? مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هذَا مَا
َليْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Hadits itu
memang benar diceritakan oleh Bukhori wa Muslim wa Abi Dawud wa Ibnu Majah dari
Aisyah, akan tetapi perhatikanlah benar-benar terjemahannya! “Barang siapa
mengada-ada (menimbulkan) di dalam agama kita ini, sesuatu yang tidak bersumber
darinya, maka ia ditolak”. Lalu apalagi yang saudara maksud? Kalau kita
mengerjakan sholat shubuh empat rakaat, atau sholat mayit pakai ruku’, sujud,
itu memang ditolak, sebab yang demikian itu tidak ada sumbernya dari agama.
Adapun yang ada sumbernya dari agama, sebagaimana masalah-masalah yang disebut
dimuka (adzan jum’at dua kali, tarawih dua puluh rakaat dan lain sebagainya) ia
tidak termasuk yang ditolak. Sesungguhnya apakah yang disebut bid’ah itu?
Memang arti Bid’ah ini sesungguhnya harus ditanyakan terlebih dahulu, sebelum
disodorkannya hadits: كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Bid’ah itu ada dua macam:
1. Bid’ah syar’iyah
2. bid’ah lughowiyah.
Tiap-tiap ucapan, perbuatan atau i’tikad yang tidak bisa disaksikan kebenarannya oleh ushulis syar’iyah (Al Kitab, Sunah, Al Ijma’, Qiyas) maka itu Bid’ah Mardudah. Inilah yang dimaksud oleh haditsnya Aisyah tersebut di atas. Ini pula yang disebut Bid’ah Syar’iyah.
1. Bid’ah syar’iyah
2. bid’ah lughowiyah.
Tiap-tiap ucapan, perbuatan atau i’tikad yang tidak bisa disaksikan kebenarannya oleh ushulis syar’iyah (Al Kitab, Sunah, Al Ijma’, Qiyas) maka itu Bid’ah Mardudah. Inilah yang dimaksud oleh haditsnya Aisyah tersebut di atas. Ini pula yang disebut Bid’ah Syar’iyah.
Adapun Bid’ah
lughowiyah, yaitu segala yang belum pernah terjadi pada zaman Rasululah SAW.
Bid’ah lughowiyah terbagi menjadi lima:
1. Bid’ah Wajibu Ala Kifayah, misal mempelajari Al Ulumul Arabiyah sebagai alat masuk memahami Al-Qur’an Dan Hadits.
2. Bid’ah Muharromah, misanya seperti I’tiqod dan hal ihwal ahli bid’i yang bertentangan dengan thoriqoh Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
3. Bid’ah Mandubah, yaitu perbuatan-perbuatan yang baik tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW.seperti mendirikan madrasah-madrasah untuk memudahkan cara-cara memberi pelajaran agama kepada murid-murid.
4. Bid’ah Makruhah, misalnya seperti menghias masjid dengan hiasan yang berlebih-lebihan.
5. Bid’ah Mubahah, sepeti bermewah-mewah dalam makan minum.
1. Bid’ah Wajibu Ala Kifayah, misal mempelajari Al Ulumul Arabiyah sebagai alat masuk memahami Al-Qur’an Dan Hadits.
2. Bid’ah Muharromah, misanya seperti I’tiqod dan hal ihwal ahli bid’i yang bertentangan dengan thoriqoh Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
3. Bid’ah Mandubah, yaitu perbuatan-perbuatan yang baik tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW.seperti mendirikan madrasah-madrasah untuk memudahkan cara-cara memberi pelajaran agama kepada murid-murid.
4. Bid’ah Makruhah, misalnya seperti menghias masjid dengan hiasan yang berlebih-lebihan.
5. Bid’ah Mubahah, sepeti bermewah-mewah dalam makan minum.
Islam tidak mengenal selamatan, mengapa tidak diberantas?
Selamatan-selamatan
model Budha seperti ambengan, kupat lepet, bubur (jenang) mirah, dan lain
sebagainya itu apakah tidak seharusnya diberantas? Sebab sudah terang di dalam
Islam tidak ada? Shodaqoh itu pada prinsipnya adalah anjuran Islam. وَفىِ
اْلحَدِيْثِ: اَلصَّدَقَةُ أَفْضَلُ مِنَ الصِّيَامِ، وَالصِّيَامُ
جُنَّةٌ مِنَ النَّارِ.
Shodaqoh lebih utama dari pada puasa, dan puasa itu sebagai tameng dari pada
neraka. (HR. Addailamy Fi Musnadihi Al Firadus)
الَصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيْئَةَ كَمَا تُطْفِئُ
الْمَاءُ النَّارَ Shodaqoh itu dapat memadamkan
kesalahan, laksana air memadamkan api. (HR. Addailamy Fi Musnadihi Al Firadus).
Dan masih banyak lagi. Kemudian macam apa, dan berupa apa shodaqoh itu, Islam
tidak menentukan, bahwa Rasulullah pernah berkata, تَصَدَّقُوْا
وَلَوْ بِتَمَرَةٍ Shodaqohlah kamu, meskipun hanya
berupa sebutir kurma. (HR. Al Bukhori).
Hadits ini
menunujukkan bahwa shodaqoh itu, berupa apa saja dan berapa saja jumlahnya,
Rasulullah tidak menentukan. Berupa bubur (jenang), berupa panggang ayam,
berupa kupat lepet, berupa ambeng, pendek kata berupa apa sajalah, meskipun
hanya dengan sebutir kurma, cukuplah buat shodaqoh.
Adapun shodaqoh di Jawa dilaksanakan berupa ambeng, jenang, kupat lepet, dan lain sebagainya itu adalah halnya adat yang tidak bertentangan dengan Islam. Memang wali sembilan di zaman dahulu ( ± lima ratus tahun yang lalu) di dalam menyiarkan agama Islam di Jawa, caranya amat bijaksana. Yaitu tiap-tiap adat yang tidak bertentangan dengan Islam sama sekali tidak diberantas. Baik adat itu cara berpakaian, cara berumah tangga, cara bersosial dan lain sebagainya. Apalagi adat di dalam pelaksanaan selamatan di Jawa ini memang mengandung hikmah-hikmah yang dalam.
Sebagai misal
umpamanya:
- Ambengan. Akhir-akhir ini telah banyak terjadi diganti dengan takiran (nasi kotak). Coba bandingkan. Jika yang diundang selamatan sebanyak 20 orang, persediaan takiran juga 20 buah, kemudian karena suatu hal yang hadir 30 orang. Bagaimana caranya mengatasi nasibnya kelebihan undangan yang sepuluh orang? Tetapi kalau dengan cara ambeng mudah sekali. Yang dipanggil selamatan 20 orang, pesediaan ada 30 ambeng. Kemudian yang datang ada 30? Baiklah, sekarang tiga buah ambeng untuk tiga puluh orang.
- Saudara mungkin akan berkata, “Dengan takiran juga mudah, yaitu yang tidak membawa surat undangan ditolak.” Menurut kami cara demikian itu tidak cocok dengan kepribadian orang-orang Timur, terutama orang Jawa. Perasaan orang timur itu sangat halus. Kalau dia mengundang tetangganya untuk hadir dalam upacara khitanan umpamanya, kemudian turut datang juga beberapa orang yang tidak diundang, maka dia tidak sampai hati untuk menolak mereka. Di sini, inilah letak faedah daripada ambengan.
- Bubur (jenang). Sudah menjadi watak bagi manusia, terutama orang-orang Indonesia bahwa disamping mereka itu senang menerima pemberian, juga senang memberi kepada orang lain, meskipun kiranya kalau mereka itu hanya selalu diberi, tetapi tidak pernah memberi. Malu agaknya mereka itu kalau mereka itu hanya selalu dundang selamatan, tetapi tidak pernah mengundang selamatan. Agar supaya orang-orang yang tidak memberi itu juga dapat turut menikmati amal perbuatan memberi, aka dianjurkanlah pemberian itu berupa bubur (jenang), sebab bubur itu kecuali kelihatan pantas, juga modalnya sederhana sekali. Kalau beras sekilo itu apabila dijadikan nasi hanya cukup buat enam orang, tetapi kalau dibagikan bubur bisa cukup buat lima belas orang sampai dua puluh ornag. Belum lagi dihintung pengantarnya. Kalau nasi sekurang-kuranngnya harus diantar oleh lauk pauk, tetapi bubur cukup dihantar dengan kelapa tua dan gula jawa.
- Kupat atau ketupat. Ketupat itu bahannya sederhana sekali. Ketupat yang agak lumayan besarnya itu bisa cukup dua sendok beras. Lain daripada itu, kalau tiap setahun sekali kita selamatan ketupat itu berarti kita memberikan peringatan kepada tetangga kita supaya tetap bersatu. Kalau dua sendok beras yang dapat bercerai berai itu dapat dipersatukan, sehingga kumpul menjadi satu merupakan benda berat yang sedang ia tidak berakal, mengapa manusia yang berakal tidak dapat disatukan dalam satu rangka ketupat? Saya rasa tiga contoh ini cukup.
Mengapa orang yang memegang atau membawa Al-Qur’an harus
berwudlu dahulu?
Di dalam
Al-Qur’an ada ayat yang berbunyi: إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوْا
وُجُوْهَكُمْ Yang maksudnya bila kamu sekalian
akan berdiri sholat, maka basuhlah mukamu (dan seterusnya).
Jadi jelas
bahwa ada perintah wudlu itu digantungkan pada apabila orang akan sholat.
Tetapi mengapa kyai-kyai selau mengatakan orang yang akan memegang Al-Qur’an
atau membawa Al-Qur’an dia harus ambil air wudlu dahulu. Dan kalau tidak
berwudlu maka haram menyentuh, memegang/membaca Al-Qur’an?
Kalau demkian
caranya saudara memahami ayat Al-Qur’an maka bisa terjadi hukum itu menjadi
kacau, sebab ayat-ayat yang bentuknya semisal ayat yang saudara sebutkan itu
banyak sekali. Sebagai contoh umpamanya إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَاْلفَتْحُ
وَرَأَيْتَ الناَّسَ يَدْخُلُوْنَ فِى
دِيْنِ اللهِ اَفْوَاجًا فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرُهُ
Apabila datang pertolongan Allah, dan kemenangan, dan engkau melihat manusia
masuk di dalam agama Allah, maka bacalah tasbih dengan memuji Tuhanmu Dan mohon
ampunlah.
Apakah saudara
juga akan berkata, “Mengapa kyai-kyai membaca Subhanallah Wabihamdihi?”
Astaghfirullah! Toh pertolongan Allah belum datang, kemenangan juga belum
datang? إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرُ اَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ
تَقُلْ لهَمُاَ اُفٍّ
Kalau salau satu daripada bapak ibu, atau kedua duanya telah sampai umur tua,
berada pada sisimu, maka jangan kamu bentak-bentak. (Surat Al Isro’ ayat 23)
Jelas bahwa
orang yang membentak kepada bapak ibu itu, digantungkan pada: kalau bapak ibu
sudah berumur tua dan terkumul dengan anaknya. Apakah saudara juga akan
berkata, “Mengapa kyai-kyai itu selalu melarang saya membentak bapak ibuku,
sedang bapak ibu tuh masih muda-muda dan tidak berkumpul bersamaku?” Masih
banyak contoh-contoh lain.
Adapun para
ulama’ berfatwa, bahwa orang yang tidak berwudlu, maka dilarang menyentuh atau
membawa Al-Qur’an, itu dasarnya adalah Ijma’ Al Aimatul Arba’ah, disamping
memang ada haditsnya yaitu: hadits yang diriwayatkan oleh Hakim ibnu Hazm: إِنَّ النَّبِي
صَليَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَمَسَّ
اْلقُرْآنَ إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ
Jangan engkau membentuk al-Qur’an kecuali engkau suci (HR. At Thobroni Dan ad
Darruquthni dan Al Hakim).
Juga ayat لاَ يَمَسُّهُ
إِلاَّ اْلمُطَهَّرُوْنَ Kalau ayat لاَ يَمَسُّهُ
إِلاَّ اْلمُطَهَّرُوْنَ Ini saya kira
tidak dapat digunakan sebagai dasar, sebab yang dimaksud adalah Al-Qur’an pada
waktu masih di Lauhil Mahfudl, dan Muthohharun adalah malaikat. Jadi artinya
kalam Allah di Lauhil Mahfud itu tidak dapat disentuh kecuali oleh malaikat
yang suci.
Saudara saya
persilahkan membaca ayat sesudahnya, yaitu: تَنْزِيْلٌ مِنْ رَبِّ اْلعَالمَِيْنَ
Jadi jelas bukan Al-qur’an (Lauhil Mahfud). Tetapi Al-Qur’an yang diturunkan.
Kalau yang dimaksud dengan Muthoharun itu malaikat yang suci-suci berarti ada
malaikat yang tidak suci, padahal semua malaikat adalah suci. Lain dari pada
itu kalam Allah (Lauhil Mahfudl) itu tidak ada huruf dan suaranya, bagaimana
itu bisa disentuh? Baiklah, kalau saudara tidak mau menerima ayat tadi sebagai
dasar hukum, apakah haditsnya Hakim Ibnu Hazm juga tidak dapat dijadikan
sebagai dasar hukum?
Bagaimana hukumnya talqin mayit, setelah mayit selesai
dikubur?
Talqin mayit,
kalau mayitnya muslim mukallaf, para ulama’ Ahlu Sunah wal Jama’ah menetapkan
hukumnya sunah. Dengan dasar ayat: وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرى َتَنْفَعُ
اْلمُؤْمِنِيْنَ Berilah peringatan, sesungguhnya
peringatan itu, manfaat bagi orang-orang mu’min (Adz-Dzariyat ayat 55)
Dan hadits yang
diriwayatkan oleh Utsman ra.berkata: كاَنَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ
اْلمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ اِسَتَغْفِرُوْا ِِلاَخِيْكُمْ وَاسْئَلُوْا اللهَ لَهُ
التَّثْبِيْتَ فَإِنَّهُ اْلآنَ يُسْئَلُ
Adalah Rasulullah itu manakala selesai dari menanam mayit, maka berhentilah
beliau di atas kubur mayit itu (sejenak) Dan berkata,”Mohon ampunlah kamu untuk
saudaramu dan mohonlah kepada Allah ketabahan bagi saudaramu, karena dia
sekarang ini sedang ditanya. (Hadits hasan HR. Abu Dawud)
Apa gunanya
orang sudah mati dan telah berada di dalam qubur mesti diperingatkan? Sebab
pada waktu itu, dia sangat membutuhkan peringatan dan doa dari teman-teman yang
masih hidup, sebagaimana yang ditunjukkan oleh ayat dan Hadits tersebut.
Adakah Hadits
yang menerangkan bahwa pelaksanaan talqin itu sebagaimana yang berlaku di
kampung-kampung sekarang ini? Rasulullah bersabda dalam hadits yang amat
panjang. Oleh sebab itu saudara saya persilahkan melihat sendiri di dalam
haditsnya Thobroni ini atau I’anatut Tholibin juz Tsani shohifah 14 (HR. At
Thobroni)
Apakah Hadits
yang diriwayatkan Thobroni itu tadi bukan Hadits dho’if? Hal itu terserah pada
penilaian saudara. Akan tetapi meskipun dho’if tidak ada halangannya hadits itu
dipergunakan sebagai landasan, sebab masalah talqin itu termasuk Fadhoil.
Imam Ahmad
Hambali wa Ghoirihi minal aimmati pernah berkata, “Manakala kami meriwayatkan
di dalam soal-soal halal dan haram, maka kami perkeras penelitian kami, dan
manakala kami meriwayatkan di dalam Fadhoil maka kami peringan penelitian
kami.” Tadi dibawa-bawa ayat di dalam surat Dzariyat. Bukankah yang dimaksud
mukmin ini, orang-orang mukmin yang masih hidup? Apakah yang menunjukkan bahwa
yang dimaksud dengan mu’min itu orang-orang mu’min yang masih hidup? Apakah
bapak-bapak kita yang telah wafat itu tidak dapat disebut orang-orang mu’min?
Bukan begitu
maksud saya. Maksud saya kalau orang-orang yang sudah mati itukan tidak ada
gunanya diperingatkan, sebab mereka sudah tidak dapat mendengar.
Saudara saya
persilahkan baca tarikh, pada waktu selesai perang badar, dan beberapa gembong
musyrikin telah dimasukkan ke dalam sumur, pada waktu itu Rasulullah mendekati
sumur kemudian memanggil nama-nama gembong-gembong tadi satu persatu dan
kemudian berkata: أَيَسُرُّكُمْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ أَطَعْتُمُ اللهَ
وَرَسُولَهُ (إِلَى أَخِرِ
مَا قَالَ)
Mendengar
Rasulullah memanggil bangkai orang-orang musyrik itu, shahabat Umar bin Khottob
berkata, “Apa artinya berbicara dengan bangkai-bangkai yang telah tidak bernyawa
itu?” Rasulullah menjawab وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ مَا أَنْتُمْ
بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ.
لَكِنَّكُمْ لاَيَسْتَطِيْعُونَ جَوَابًا
Demi Allah, tidaklah kamu itu lebih dapat menedengar apa yang kamu katakan
daripada mereka, tetapi mereka tidak dapat menjawab.
Kalau tarikh
itu betul, apakah tidak bertentang dengan ayat: وَمَا أَنْتَ
بِمُسْمَعٍ مَنْ فِى القُبُورِ Tidaklah engkau
Muhammad, dapat memberikan pendengaran orang-orang yang berada di dalam kubur إِنَّكَ
لاَتُسْمِعُ المَوْتَى Sesungguhnya
engkau tidak dapat memberikan pendengaran kepada orang-orang yang mati
Ayat ini,
tersebut dalam surat Fathir ayat 22. Sebaiknya di dalam memahami sesuatu ayat,
hendaknya ayat sebelum dan sesudahnya, saudara datangkan pula, agar tidak
menyalahkan paham. Lain daripada itu, juga harus menggunakan tafsir yang
mu’tabar. Baiklah ini saya datangkan ayat-ayat itu berikut dengan tafsirnya:
(وَمَا يَسْتَوِى الأَعْمَى وَالبَصِيْرُ)
al kafir wa Mu’min
(وَلاَالظُّلُمَاتُ)
al kafir
(وَلاَالنُورُ)
al Iman
(وَلاَالظِّلُّ وَلاَ الحُرُورُ)
al Jannah wa an Nar
(وَمَا يَسْتَوِى الأَحْيَاءُ وَلاَ الأَمْوَاتُ)
al Mu’min wal Kuffar.
(إنَّ اللهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ) هِدَايَتَهُ فَيُجِيبُهُ بِالإِيِمَانِ (وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِى القُبُورِ) اي الكُفَّارِ شَبَّهَهُمْ بِالمَوتَى فِى عَدَمِ الإِجَابَةِ (إنْ أَنْتَ إِلاَّ نَذِيْرٌ)
(وَمَا يَسْتَوِى الأَعْمَى وَالبَصِيْرُ)
al kafir wa Mu’min
(وَلاَالظُّلُمَاتُ)
al kafir
(وَلاَالنُورُ)
al Iman
(وَلاَالظِّلُّ وَلاَ الحُرُورُ)
al Jannah wa an Nar
(وَمَا يَسْتَوِى الأَحْيَاءُ وَلاَ الأَمْوَاتُ)
al Mu’min wal Kuffar.
(إنَّ اللهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ) هِدَايَتَهُ فَيُجِيبُهُ بِالإِيِمَانِ (وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِى القُبُورِ) اي الكُفَّارِ شَبَّهَهُمْ بِالمَوتَى فِى عَدَمِ الإِجَابَةِ (إنْ أَنْتَ إِلاَّ نَذِيْرٌ)
Dengan tafsir
ini jelas bahwa (Man fil Qubur): Orang-orang yang di dalam qubur itu artinya
orang-orang kafir yang disamakan dengan orang-oang yang ada di dalam qubur,
sama di dalam tidak menjawab panggilan Rasululah SAW. Orang-orang kafir
mendengar ajakan Rasulullah tetapi tidak menyambut baik. Abu Jahal dan
kawan-kawannya yang dimasukkan ke dalam sumur di Badar, juga mendengar
panggilan Rasulullah SAW. Tetapi mereka tidak dapat menjawab. Ayat (An Nahl
ayat 80): إِنَّكَ لاَ تُسْمِعُ المَوتَى
Saya tuliskan
ayat itu berikut kelanjutan serta tafsirnya. قَالَ الجَلاَلُ : ثُمَّ ضَرَبَ
أَمْثَالَهُمْ (اي لِلْكُفَّارِ ) بِالمَوتَى
وَبِالصُمِّ وَبِالعُمْيِ فَقَالَ (إِنَّكَ لاَتُسْمِعُ
المَوتَى وَلاَ تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوا مُدْبِرِيْنَ)(وَمَا أَنْتَ
بِهَادِى العُمْيِ عَنْ ضَلاَلَتِهِمْ
إِنْ)مَا(تُسْمِعُ) سَمَاعَ إِفْهَامٍ وَقَبُولٍ (إِلاَّ مَنْ
يُؤْمِنُ بِأَيَاتِنَا)القُرْآنِ
(فَهُمْ مُسْلِمُونَ)مُخْلِصُونَ بِتُوحِيدِ اللهِ.
Jelas bahwa
yang dimaksud dengan maut adalah orang-orang kafir. Mereka sesungguhnya
mendengar ajakan Rasulullah SAW tetapi tetap tidak iman. Disamping itu coba
perhatikan hadits Rasulullah tentang ziarah qubur berikut ini: وَعَنْ بُرْدَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُعَلِّمُهُمْ إِذَا خَرَجُوا إِلَى المَقَابِرِ أَنْ
يَقُولَ قَائِلُهُمْ
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ المُؤْمِنِِيْنَ وَالمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّ
إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُونَ أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمْ العَافِيَةَ. رَوَاهُ مُسْلِم
Dari Buraidah
RA, dia berkata, “Adalah Rasulullah SAW itu memberikan pelajaran kepada
orang-orang manakala mereka keluar ke qubur, hendaknya salah satu dari mereka
mengucapkan: “Assalamualaikum hai keluarga desa dari orang-orang mukmin dan muslim.
Sesungguhnya kami, Insya Allah, akan menyusulmu. Kami memohon kepada Allah
ta’ala keselamatan untuk kami dan untuk kamu”.
Tolong pikirkan
sejenak kawan! Kalau sekiranya orang-orang mati itu tidak mendengar, apa
gunanya diberi salam. Doanya menggunakan kalimah Walakum (dlomir khitob), tidak
walahum (dlomir ghoibah). Apa itu artinya?
Sebaiknya sholat hari raya dilaksanakan di masjid atau
lapangan?
Sholat hari
raya itu sebaiknya dilaksanakan di masjid kah atau di lapangan? Sholat hari
raya itu dilaksanakan di masjid boleh, di musholla atau di lapanganpun boleh.
Tentang mana yang lebih afdlol itu ada tafsil/perinciannya. Kalau masjid
setempat sempit, tetapi diantara umat Islam setempat terdapat orang-orang
dloif/lemah, sebab sudah tua agak sakit-sakitan sehingga berat untuk hadir di
lapangan, maka disamping sholat hari raya di lapangan juga diadakan di Masjid,
untuk menampung teman-teman yang dloif. Yang tersebut tadi kalau tidak
kebetulan hujan. Kalau terjadi hujan, maka sholat hari raya dilaksanakan di
Masjid.
وَعَنْ أَبِى هٌرِيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ
أصَابَنَا مَطَرٌ فِى يَومِ
عِيْدٍ فَصَلَّى بِنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى مسْجِدٍ.
Dari Abu Hurairah, dia berkata: datang hujan pada kami sewakti hari raya, maka
Rasulullah sembahyang dengan kami di dalam Masjid. Kalau Masjid setempat luas,
sehingga dapat menampung pengunjung sholat ied, maka dilaksanakan di Masjid
adalah lebih afdlol. Itulah sebabnya sejak dahulu hingga sekarang sholat ied di
Makkah dan Madinah selalu dilaksanakan di Masjid, karena Masjid adalah lebih
mulia dan lebih bersih daripada lapangan.
Apakah sah dan tidak bid’ah untuk mengucapkan niat shalat
padahal mestinya niat dengan hati?
Niat itu
tempatnya di hati, dan memang seharusnya niat itu dengan hati, akan tetapi saya
dengar orang-orang bersembahyang di Masjid, niatnya dengan ucapan Usholli
fardlo dzuhri dst. Sahkah itu? Niat itu memang tempatnya di hati. Kalau hanya
ucapan Usholli fardlo dzuhri dan seterusnya saja itu namanya bukan niat.
Kalau demikian,
lalu apa gunanya baca Usholli? Gunanya untuk menolong agar hati kita itu ingat
mensahajakan, sebab manusia itu tempatnya lupa. Apalagi di dalam niat itu, kita
harus Ta’ridh dan Ta’yin. Untuk ingat mensahajakan sholat berikut ta’ridh dan
Ta’yin adalah tidak mudah.
Bagaimana
hukumnya kalau orang sholat tidak baca usholli, tetapi sudah niat hati? dan
bagaimana hukumnya baca usholli padahal juga juga niat dengan hati? Sholat
dengan niat yang mencakup syarat, tanpa baca usholli ila akhirihi hukumnya sah.
Melengkapi dengan bacaan usholli ila akhirihi hukumnya mandub. Menurut
keterangan kitab-kitab fiqih yang menjadi pegangan para ulama’seperti Fathul
Qorib, Fathul Mu’in dan lain sebagainya. Tetapi saya pernah membaca majalah
berbahasa Indonesia. Di sana diterangkan bahwa bacaan Usholli ila akhirihi itu
tidak baik, bahkan termasuk bid’ah yang sesat.
Hal itu
terserah kepada saudara. Kami dan saudara sama-sama mempunyai pegangan. Kami
mempunyai pegangan kitab-kitab Fathul Mu’in dan sebagainya. Dan saudara sama-sama
mempunyai pegangan. Saudara juga mempunyai pegangan majalah. Sayangnya ada
sedikit perbedaan yaitu Fathul Mu’in mengatakan bahwa tidak membaca Usholli
juga boleh, dan tidak sesat, tetapai majalah yang saudara sebutkan mengatakan
bacaan Usholli tidak baik dan sesat. Jadi Fathul Mu’in tidak menganggap salah
kepada orang yang tidak membaca Usholli dan majalah tersebut mengangggap salah
kepada orang yang membaca Usholli.
Sebabnya
dikatakan sesat dan dikatakan salah, karena menambah aturan-aturan di dalam sholat.
Keterangan saudara itu tidak benar, karena sholat itu dimulai dengan takbir dan
diakhiri dengan salam. Jadi sebelum waktu takbir itu namanya belum sholat,
sedang bacaan Usholli itu dilakukan sebelum Takbirotul Ihrom. Itu dengan
kata-kata lain diucapkan di luar sholat, dan sama sekali tidak mengganggu tata
tertibnya sholat.
Bagaimana hukumnya baca manaqib?
Mengertikah
saudara arti kata-kata manaqib? Kata-kata manaqib itu adalah bentuk jamak dari
mufrod manqobah, yang di antara artinya adalah cerita kebaikan amal dan akhlak
perangai terpuji seseorang.
Jadi membaca
manaqib, artinya membaca cerita kebaikan amal dan akhlak terpujinya seseorang.
Oleh sebab itu kata-kata manaqib hanya khusus bagi orang-orang baik mulia:
manaqib Umar bin Khottob, manaqib Ali bin Abi Tholib, manaqib Syeikh Abdul
Qodir al-Jilani, manaqib Sunan Bonang dan lain sebagainya. Tidak boleh dan
tidak benar kalau ada orang berkata manaqib Abu Jahal, manaqib DN. Aidit dan
lain sebagainya. Kalau demikian artinya pada manaqib, apakah saudara masih
tetap menanyakan hukumnya manaqib?
Betul tetapi
cerita di dalam manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani itu terlalu
berlebih-lebihan, sehingga tidak masuk akal. Misalkan umpamanya kantong berisi
dinar diperas lalu keluar menjadi darah, tulang-tulang ayam yang berserakan,
diperintah berdiri lalu bisa berdiri menjadi ayam jantan.
Kalau saudara
melanjutkan cerita-cerita yang tidak masuk akal, sebaiknya jangan hanya
berhenti sampai ceritanya Syeikh Abdul Qodir al-Jilani saja, tetapi
teruskanlah. Misanya cerita tentang sahabat Umar bn Khottob berkirim surat
kepada sungai Nil, Sahabat umar bin Khottob memberi komando dari Madinah kepada
prajurut-prajurit yang sedang bertempur di tempat yang jauh dari Madinah.
Cerita tentang Isra’ Mi’raj, cerita tentang tongkat menjadi ular, cerita gunung
yang pecah, kemudian keluar dari unta yang besar dan sedang bunting tua, cerita
tentang nabi Allah Isa menghidupkan orang yang sudah mati. Dan masih banyak
lagi yang semuanya itu sama sekali tidak masuk akal.
Kalau keluar dari
Nabi Allah itu sudah memang mukjizat, padahal Abdul Qodir al-Jilani itu bukan
Nabi, apa bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal?
Baik Nabi Allah
maupun Syeikh Abdul Qodir al-Jilani atau sahabat Umar bin Khottob, kesemuanya
itu masing-masing tidak bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal. Tetapi
kalau Allah Ta’ala membisakan itu, apakah saudara tidak dapat
menghalang-halangi?
Apakah selain
Nabi Allah juga mempunyai mukjizat?
Hal-hal yang
menyimpang dari adat itu kalau keluar dari Nabi Allah maka namanya mukjizat,
dan kalau timbul dari wali Allah namanya karomah. Adakah dalil yang menunjukkan
bahwa selain nabi Allah dapat dibisakan menimbulkan hal-hal yang menyimpang
dari adat atau tidak masuk akal? Silahkan saudara membaca cerita dalam Al-Quran
tentang sahabat Nabi Allah Sulaiman yang dapat dibisakan memindah Arsy Balqis
(QS An-Naml: 40) قَالَ اللهُ تَعَالَى : قَالَ الَّذِى عِنْدَهُ عِلْمٌ
مِنَ الكِتَابِ أَنَا آتِيِكَ بِهِ
قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ. فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ
فَضْلِ رَبِّى لِيَبْلُوَنِى أَأَشْكُرُ اَمْ أَكْفُرُ. وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّى
غَنِيٌّ كَرِيْمٌ.
Tetapi di dalam
manaqib Abdul Qodir al-Jilani ada juga kata-kata memanggil kepada para roh yang
suci atau kepada wali-wali yang sudah mati untuk dimintai pertolongan, apakah
itu tidak menjadikan musyrik? Memanggil-manggil untuk dimintai pertolongan baik
kepada wali yang sudah mati atau kepada bapak ibu saudara yang masih hidup
dengan penuh i’tikad bahwa pribadi wali atau pribadi bapak ibu saudara itu
mempunyai kekuasaan untuk dapat memberikan pertolongan yang terlepas dari
kekuasaan Allah Ta’ala itu hukumnya syirik.
Akan tetapi
kalau dengan i’tikad bahwa segala sesuatu adalah dari Allah Ta’ala, maka itu
tidak ada halangannya, apalagi sudah jelas bahwa kita meminta pertolongan
(ghouts) kepada para wali itu maksudnya adalah minta dimohonkan kepada Allah
Ta’ala.
Manakah yang
lebih baik, berdoa kepada Allah Ta’ala dengan langsung atau dengan perantaraan
(tawassul)? Langsung boleh, dengan perantaraan pun boleh. Sebab Allah Ta’ala
itu Maha Mengetahui dan Maha Mendengar. Saudara jangan mengira bahwa tawassul
kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau wali itu, sama dengan saudara
memohon kenaikan pangkat kepada atasan dengan perantaraan Kepala Kantor
saudara. Pengertian tawassul yang demikian itu tidak benar. Sebab berarti
mengalihkan pandangan terhadap yang ditujukan (pihak atasan), beralih kepada
pihak perantara, sehingga disamping mempunyai kepercayaan terhadap kekuasaan
pihak atasan, saudara juga percaya kepada kekuasaan pihak perantara. Tawassul
kepada Allah Ta’ala tidak seperti itu.
Kalau saudara
ingin contoh tawassul kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau Wali-Wali itu,
seperti orang yang sedang membaca al Quran dengan memakai kacamata. Orang itu
tetap memandang al Quran dan tidak dapat dikatakan melihat kaca. Bukankah Allah
ta’ala berfirman dalam al Quran al Karim
وَقَالَ رَبُّكُمْ أُدْعُونِى أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Panggillah aku maka akan Aku sambut kepadamu. (Al Mukmin: 60)
فَادْعُو اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيِنَ
Maka sambutlah olehmu akan Allah ta’ala dengan memurnikan kepadanya akan agama. (Al Mukmin: 24)
وَالَّذِيْنَ لاَيَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا أَخَرَ
Dan orang-orang yang tidak menyambut bersama Allah akan tuhan yang lain. (Al Furqon: 68)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa itu.
وَقَالَ رَبُّكُمْ أُدْعُونِى أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Panggillah aku maka akan Aku sambut kepadamu. (Al Mukmin: 60)
فَادْعُو اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيِنَ
Maka sambutlah olehmu akan Allah ta’ala dengan memurnikan kepadanya akan agama. (Al Mukmin: 24)
وَالَّذِيْنَ لاَيَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا أَخَرَ
Dan orang-orang yang tidak menyambut bersama Allah akan tuhan yang lain. (Al Furqon: 68)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa itu.
Betul akan
tetapi kesemuanya itu sama sekali tidak melarang tawassul dengan pengertian
sebagaimana yang telah saya terangkan tadi. Coba saja perhatikan contoh di
bawah ini: Saudara mempunyai majikan yang kaya raya mempunyai perusahaan besar,
saudara sudah kenal baik dengan beliau, bahkan termasuk buruh yang dekat
dengannya. Saya ingin diterima bekerja di perusahaannya. Untuk melamar
pekerjaan itu, saudara saya ajak menghadap kepadanya bersama-sama, dan saya
berkata, “Bapak pimpinan perusahaan yang mulia. Kedatangan saya bersama guru
saya ini, ada maksud yang ingin saya sampaikan, yaitu saya mohon diterima
menjadi pekerja di perusahaan bapak. Saya ajak guru saya menghadap bapak karena
saya pandang guru saya ini adalah orang yang baik hati dan jujur serta juga
kenal baik dengan bapak”. Coba perhatikan! kepada siapa saya memohon? Kemudian
adakah gunanya saya mengajak saudara menghadap majikan besar itu?
Ada dua orang
pengemis. Yang satu sendirian, sedang yang satu lagi dengan membawa kedua
anaknya yang masih kecil-kecil. Anak yang satu masih menyusu dan yang satu lagi
baru bisa berjalan. Di antara dua orang yang pengemis itu, mana yang lebih
mendapat perhatian saudara? Saudara tentu akan menjawab yang membawa anak yang
kecil-kecil itulah yang lebih saya perhatikan. Kalau begitu adakah gunanya pengemis
itu membawa kedua orang anaknya yang masih kecil? Kepada siapakah pengemis itu
meminta? Kepada anak yang masih kecil-kecil jugakah pengemis itu meminta?
Semoga kiranya risalah yang kecil ini, dapat memenuhi harapan ihwanul muslimin,
terutama jamaah Nahdlatul Ulama. Semoga risalah ini bermanfaat.
Penyusun: KH. Bisri Mustofa
1 komentar:
Harrah's Resort SoCal Casino - Mapyro
Harrah's Resort SoCal Casino 화성 출장샵 is an 강릉 출장샵 Indian casino in Valley Center, 제천 출장안마 CA. 경상남도 출장샵 Find reviews 김해 출장안마 and information for AAA/AARP members, seniors,
Posting Komentar