Rabu, 03 Oktober 2012

Si Mbah Mencari Tuhan,. benarkah Tuhan ada?



Disebuah  kota kecil, dipinggir jalan tampak sebuah kios kecil sangat sederhana. Kios  tersebut dijadikan  tempat menjahit selama bertahun-tahun oleh seorang  yang sekarang tampak sudah tua. Mbah dulkamid namanya. Disuatu siang  mbah dulkamid sedang duduk mengerjakan pekerjaan jahitannya, tiba-tiba “Assalamu’alaikum”, mbah dulkamid kaget, seketika itu langsung bangun dari duduknya dan membiarkan kain yang tadi lagi digunting tergeletak begitu saja. “Wa’alaikumsalam”, jawab mbah dulkamid sepontan.
Mbah Dulkamid segera menyongsong tamunya, Kiai Shomad. Menyalaminya seraya hendak mencium tangan tetapi Sang Kiai menarik tangannya cepat-cepat. "Jangan begitu, Mbah. Harusnya aku yang mencium.  Dulkamid manggut-manggut. "Inggih-inggih, Kiai. Monggo pinarak. Baju Pak Kiai sudah kelar tuh....." kata Dulkamid dengan sangat sopan. Segera dihampirinya  lemari ukuran besar. Dulkamid menggeser pintu kaca tembus pandang ke arah kanan dan diambilnya sebuah baju warna putih berkerah putih yang digantung dengan hanger. Tampak rapi dengan setrikaan yang sangat licin.

Kiai Shomad menerima baju dan mematut-matut ke badannya. "Wah, bagus sekali baju jahitan sampeyan, Mbah, enak ini dipake, pas dibadan.  Pantesan banyak orang yang menjahitkan baju di sini....." Kata Kiai Shomad dengan muka cerah.

Sebaliknya wajah Dulkamid justru ketekuk, kayak lipatan baju jaitannya,. "Rame apa lah pak kiai, rame kerjaan doang, tapi hasilnya Cuma capek aja, Cuma pas-pasan  kadang malah kurang kalu lagi musimnya kondangan...." gumamnya.

Kiai Shomad menoleh ke arah Dulkamid, dan katanya, "Apa Mbah? Hmmm.... jangan begitu. Kan kita harus selalu mensyukuri apa pun yang sudah Tuhan kasih."

"Apa benar yang ngasih ke kita Tuhan? Wong semua hasil kerja kita sendiri!" ujar Dulkamid yakin.

Kiai Shomad menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa kecil. "Mbah, Mbah.... Sampeyan tahu apa itu rejeki kan?"

"Saya dari dulu kerja, menerima jahitan baju orang, terus orang itu membayar saya dengan uang. Itu rejeki saya, Pak Kiai...."

"Bener itu, Mbah. Namun bukan hanya itu. Ma ataka Allah, sesuatu yang datang dari Allah, semua itu rejeki Mbah. Sejak proses dalam rahim, Allah menumbuhkan sperma dalam indung telur ibu sampeyan menjadi darah kemudian dikembangkan menjadi segumpal daging dan berproses terus menjadi anak manusia lengkap dengan segala instrumennya berupa tangan, kaki, mata, telinga dan semua yang sampeyan miliki itu tanpa harus meminta, Allah sudah memberinya. Lalu Allah juga menyiapkan air susu buat sampeyan tanpa ikhtiar apa pun." Kiai Shomad menarik nafas panjang. "Mbah....," katanya kemudian.

"Dalem(saya), Pak Kiai," jawab Dulkamid penuh hormat.

"Allah juga menyediakan udara, energi matahari dan kandungan perut bumi untuk kesinambungan kehidupan sampeyan di muka bumi. Tinggal kewajiban sempeyan untuk melakukan ikhtiar dengan mendayagunakan semua pemberian Allah tadi. Buktinya Allah sudah memberi  ilmu menjahit sehingga dengan bantuan kedua tangan, kaki, mata, otak dan anggota tubuh lain sampeyan bisa mencari nafkah."

"Betul itu, Pak Kiai.Tetapi kenapa Allah tidak memberi saya rejeki yang cukup? Padahal siang malam kerja sampai punggung tua saya bungkuk begini....!"

"Hehehe......!"Kiai Shomad terkekeh. "Sampeyan ana-ana bae, Mbah! Coba sampeyan amati sapu itu. (Kebetulan dipojok kios ada sapu lantai produksi Home Industri Sinar Mentari).  Mungkin ijuk-ijuk itu mengeluh, mengapa kami harus bersentuhan langsung dengan lantai yang kotor, sementara gagang sapu selalu bersentuhan dengan tangan lembut pemiliknya. Ijuk-ijuk itu protes kepada sang pemilik, mengapa anda hanya memegang gagang, padahal kami yang bekerja keras sampai tubuh kami semua kotor, dan rontok?  Pemilik sapu menjawab, ubah bentuk kalian menjadi gagang, nanti aku akan menyentuhmu setiap kali menggunakan sapu ini!"

Kiai Shomad menunggu reaksi Dulkamid. Kemudian katanya, "Allah tidak akan merubah nasib sampeyan  kecuali sampeyan merubahnya sendiri. Tidak cukup berdo'a namun sampeyan juga harus berikhtiar, mendayagunakan segenap kemampuan maksimal agar mendapatkan penghasilan yang berlebih. Selain itu, kewajiban kita adalah mensyukuri semua yang telah Allah bagi kepada kita." Kita harus giat berikhtiar, ada ujar-ujar jawa arab(bahasa jawa tapik kaya arab) “Man talataina panaina.” Barang siapa yang rajin bekerja/berusaha maka akan menuai hasilnya.

"Tapi Pak Kiai, bagaimana saya bersyukur sementara Allah membagi terlalu sedikit rejeki kepada saya?" tukas Dulkamid ngeyel.

Kiai Shomad tersenyum. "Selama cara berpikirnya  masih berkutat seputar dimensi materi, fisikal saja, maka sampeyan tidak akan pernah bisa bersyukur."

"Maksud Pak Kiai?"

"Begini Mbah, saya akan bercerita tentang sebuah negara yang 30 tahun lalu menjadi negara terkaya di dunia dengan pendapatan per kapitanya mencapai 17.000 dollar. Bandingkan dengan indonesia yang waktu itu hanya 530 dollar pertahun. Nama negara itu Nauru, yang berjarak 500 km dari Papua berbatasan dengan Australia. Luas wilayah Nauru hanya 21 km2 tetapi Allah melimpahinya dengan Fosfat, bahan pembuat pupuk sehingga selama berpuluh-puluh tahun rakyat Nauru yang berjumlah 13.000 jiwa itu hidup bergelimang harta. Mereka mengeruk fosfat itu habis-habisan dan menukarkannya dengan kemewahan. Semua fasilitas digratiskan, rakyat hidup bermalas-malasan karena semua kebutuhan hidup sudah disediakan oleh negara." Kiai Shomad berhenti sejenak.

"Namun sekarang Mbah," lanjutnya. "Nauru menjadi negara miskin semiskinnya. Hampir 90 persen wilayah Nauru tak layak menjadi tempat tinggal. Tumbuhan hijau dan habitat mamalia musnah. Bahkan kebutuhan air dan makanan semuanya harus mengimpor. Sementara pemerintahan bangkrut tak mampu lagi membiayai kebutuhan rakyatnya."

"Itu kan karena kesalahan mereka sendiri, Pak Kiai," ujar Dulkamid.

"Tepat, Mbah! Mereka tidak pandai mensyukurinya dengan cara mengelola limpahan rejeki Allah itu dengan sebaik-baiknya," jawab Kiai Shomad.

"Saya masih belum yakin, Pak Kiai. Coba Pak Kiai menengok ke jalanan. Banyak bergentayangan para gelandangan, pengemis, anak-anak terlantar yang setiap hari merasakan kelaparan. Jika benar rejeki itu datang dari Allah, kenapa sampai ada hamba-Nya yang mati kelaparan? Atau jangan-jangan.....," kata-kata Dulkamid terpotong.

"Jangan-jangan apa, Mbah?" tanya Pak Kiai penasaran.

Dada Dulkamid menyengal keras. Mulutnya bergetar. "Jangan-jangan sebenarnya Allah itu tidak ada!" katanya dengan emosi.

Kiai Shomad tersentak. "Astaghfirullah..... Mbah! Sampeyan ngomong apa?"

"Allah itu tidak ada! Tidak ada Tuhan yang membagikan rejeki! Kalau Dia benar-benar ada tentu tidak ada yang mati karena kelaparan, tidak ada manusia yang kesusahan. Buat apa dia menciptakan manusia sebagai hambanya tapi kemudian Dia tidak mau mengurusnya? Saya tidak percaya kalau Allah itu ada!" tegas Dulkamid.

Kiai Shomad menarik nafas panjang. Tampaknya dia menahan diri untuk tidak larut dalam emosi Dulkamid. Kiai Shomad hanya terdiam. Pandangan matanya dia buang ke arah luar. Banyak orang lalu lalang di depan kios jahit Dulkamid.

Dulkamid menyeringai melihat sikap Kiai Shomad yang tampak gundah. "Nah, Pak Kiai sendiri bingung, kan? Memang Allah itu tidak ada, Pak Kiai!"

Kiai Shomad menggeleng-gelengkan kepalanya. Tiba-tiba tanpa berkata-kata Kiai Shomad bangkit dari duduknya dan berjalan cepat keluar kios. Tidak berapa lama, dia kembali dengan menggandeng seorang lelaki bertelanjang dada dengan celana kolornya yang compang-camping.

Dulkamid keheranan. "Ada apa dengan dia, Pak Kiai?" tanyanya.

"Dia gelandangan yang sampeyan ceritakan tadi. Saya lihat dia setiap hari telanjang dada dan memakai calana yang sudah robek di sana-sini! Saya tanya katanya dia tidak mempunyai pakaian lagi kecuali celana kolor yang dia pakai sekarang," kata Kiai Shomad. Kemudian dia bertanya kepada Si Gelandangan, " Betul kan, Pak?"

Bapak tua yang gelandangan itu menganggguk. Kiai Shomad mengambil selembar uang sepuluh ribu dan menyerahkan kepada gelandangan itu. "Ini sedikit buat beli nasi. Sekarang sampeyan boleh kembali ke tempat tadi," katanya.

"Terima kasih, Pak Kiai!" ujar gelandangan dengan wajah cerah. Kemudian dia berlalu menuju jalanan.

"Nah, Mbah. Dengar sendiri tadi kan? Dia tidak punya pakaian kecuali celana kolor robek yang dipakaianya itu," kata Kiai Shomad.

Dulkamid mengangguk heran. "Maksud Pak Kiai?" tanyanya.

"Ternyata di dunia ini sudah tidak ada tukang jahit lagi!" benar kan mbah?

Dulkamid tertawa terkekeh-kekeh. "Pak Kiai ada-ada saja. Lho saya tukang jahit. Bahkan saya baru saja  menjahitkan baju Pak Kiai," katanya.

Kiai Shomad geleng-geleng kepala sambil tersenyum kecut. "Sudah tidak ada, Mbah. Kalau masih ada tentu orang tadi punya baju karena ada yang menjahitkan," kata Kiai Shomad.

Lagi-lagi Dulkamid terkekeh-kekeh. "Karena dia tidak datang kepada saya untuk meminta dijahitkan pakaian Pak Kiai!" katanya.

Kiai Shomad tersenyum lebar. "Tepat, Mbah! Sampeyan benar! Kenapa banyak orang yang kelaparan, gelandangan dan orang-orang terlantar karena  mereka tidak datang kepada Allah untuk minta rejeki, kemudian melakukan ikhtiarnya dengan sungguh-sungguh sehingga Allah akan mengirimkan rejeki kepadanya!"  tegas Kiai Shomad.
Astaghfirullah.
Dulkamid hanya melongo bego. Kening tuanya nampak mengernyit.

1 komentar:

Sinar Mentari Ilahi mengatakan...

Postingan ini aku pindahan ke blog yang baru http://sinarmentariilahi.blogspot.com