Sebuah perdebatan yang menarik tentang ijtihad dan taqlid, antara Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan
al-Buthi, seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Syria, bersama Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albani, seorang tokoh Salafi Wahabi dari Yordania. Berikut ini dialognya:
Syaikh
al-Buthi bertanya: “Bagaimana cara Anda
memahami hukum-hukum Allah, apakah Anda mengambilnya secara langsung dari
al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?”
Al-Albani menjawab: “Aku membandingkan antara pendapat semua imam
mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap
al-Qur’an dan Sunnah.”
Syaikh
al-Buthi bertanya: “Seandainya Anda
punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda simpan selama enam bulan. Kemudian uang itu
Anda belikan barang untuk diperdagangkan, maka sejak kapan barang itu Anda
keluarkan zakatnya. Apakah setelah enam bulan berikutnya, atau menunggu setahun
lagi?”
Al-Albani menjawab: “Maksud pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa
harta dagang itu ada zakatnya?”
Syaikh
al-Buthi berkata: “Saya hanya bertanya.
Yang saya inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini kami
sediakan kitab-kitab tafsir, hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.”
Al-Albani menjawab: “Hai saudaraku, ini masalah agama. Bukan
persoalan mudah yang bisa dijawab dengan seenaknya. Kami masih perlu mengkaji
dan meneliti. Kami datang ke sini untuk membahas masalah lain”.
Mendengar
jawaban tersebut, Syaikh al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik
kalau memang begitu. Sekarang saya bertanya, apakah setiap Muslim harus atau
wajib membandingkan dan meneliti dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian
mengambil pendapat yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah?”
Al-Albani menjawab: “Ya.”
Syaikh
al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban Anda,
semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam
madzhab? Bahkan kemampuan semua orang lebih sempurna dan melebihi kemampuan
ijtihad para imam madzhab. Karena secara logika, seseorang yang mampu
menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan
Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.”
Al-Albani menjawab: “Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga,
yaitu muqallid (orang yang taklid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan
mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih
yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat
tengah, antara taklid dan ijtihad.”
(bukankah muqallid dan muttabi' sama pengertiannya dalam kontek taklid?/mengikuti pendapat para mujtahid. inyong)
Syaikh
al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban
muqallid?”
Al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti para mujtahid yang bisa
diikutinya.”
Syaikh
al-Buthi bertanya: “Apakah ia berdosa
kalau seumpama mengikuti seorang mujtahid saja dan tidak pernah berpindah ke
mujtahid lain?”
Al-Albani menjawab: “Ya, ia berdosa dan haram hukumnya.”
Syaikh
al-Buthi bertanya: “Apa dalil yang
mengharamkannya?”
Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia mewajibkan pada dirinya, sesuatu
yang tidak diwajibkan Allah padanya.”
(Saya kira para pengikut madzhab tidak mewajibkan pada
dirinya untuk mengikuti salah satu madzahab yang diikutinya. Inyong)
Syaikh
al-Buthi bertanya: “Dalam membaca
al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ahnya siapa di antara qira’ah yang tujuh?”
Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.”
Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh
saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah yang berbeda-beda?”
Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya hanya mengikuti qira’ah Hafsh
saja.”
Syaikh
al-Buthi bertanya: “Mengapa Anda hanya
mengikuti qira’ah Hafsh saja, padahal Allah subhanahu wata’ala tidak mewajibkan
Anda mengikuti qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca al-Qur’an sesuai
riwayat yang dating dari Nabi Saw. secara mutawatir.”
Al-Albani menjawab: “Saya tidak sempat mempelajari qira’ah-qira’ah
yang lain. Saya kesulitan membaca al-Qur’an dengan selain qira’ah Hafsh.”
Syaikh
al-Buthi berkata: “Orang yang mempelajari
fiqih madzhab asy-Syafi’i, juga tidak sempat mempelajari madzhab-madzhab yang
lain. Ia juga tidak mudah memahami hukum-hukum agamanya kecuali mempelajari
fiqihnya Imam asy-Syafi’i. Apabila Anda mengharuskannya mengetahui semua
ijtihad para imam, maka Anda sendiri harus pula mempelajari semua qira’ah,
sehingga Anda membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau Anda beralasan
tidak mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan ketidakmampuan
muqallid dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya kepada Anda,
dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid harus berpindah-pindah dari
satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak mewajibkannya. Maksudnya
sebagaimana ia tidak wajib menetap pada satu madzhab saja, ia juga tidak wajib
berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab lain?”
Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu
menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”
(jawaban ngawur, mungkin kebingungan dari pada malu asal
jawab aja. inyong )
Syaikh
al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini
persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah
seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu
bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?”
Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”
Syaikh
al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang
Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan,
menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian lain buku
tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.”
Menjawab pertanyaan tersebut,
al-Albani kebingungan menjawabnya.
Demikianlah
dialog panjang antara Syaikh al-Buthi dengan al-Albani, yang
didokumentasikan dalam kitab beliau al-Lamadzhabiyyah Akhthar Bid’ah
Tuhaddid asy-Syari’at al-Islamiyyah.
Dialog tersebut menggambarkan, plin plannya
al-Bani yang oleh sebagian kaum salafi
wahabi mengklaim bahwa kepandaian al-Bani
dalam ilmu hadits sebanding dengan keilmuan Imam Bukhari pada zamannya.
orang yang mengenal al-Abani atau pernah membaca hasil tulisan-tulisannya, pasti akan mendapatkan bukti jelas yang menunjukan bahwa dia bukanlah seorang yang ahli dalam ilmu hadits.
Dialog diatas juga menggambarkan bahwa kaum Salafi Wahhabi melarang umat Islam mengikuti madzhab tertentu dalam bidang fiqih. Tetapi ajakan tersebut, sebenarnya upaya licik mereka agar umat Islam mengikuti madzhab yang mereka buat sendiri. Mereka mengharamkan taklid pada suatu madzhab, akan tetapi mereka mewajibkan pengikutnya untuk mati matian mengekor Ulama mereka.
orang yang mengenal al-Abani atau pernah membaca hasil tulisan-tulisannya, pasti akan mendapatkan bukti jelas yang menunjukan bahwa dia bukanlah seorang yang ahli dalam ilmu hadits.
Menurut pengakuannya sendiri , dia belajar adits hanya dari membaca buku-buku, tanpa berguru pada seorang ahli hadits pun,
dia tidak mempunyai sanad yang diakui dalam ilmu hadits. Sanadnya terputus, tidak
ada yang sampai pada Rasulallah. Sanad hadist-hadits
riwayat al-Albani hanya kembali pada buku-buku yang dia baca sendiri tanpa
bimbingan seorang Syaikh mukhadits. Bahkan, dia pun mengaku bahwa sesungguhnya dia
tidak hafal sepuluh hadits pun dengan sanad muttashil (bersambung) sampai pada
Rasulallah. Perkara ini dibuktikan saat salah seorang pengacara (muhami) yang
mengikuti majlis ilmunya bertanya padanya: “engkau seorang muhadits?”
“Ya” jawab
al-Albani
“Bisakah engkau meriwayatkan kepadaku 10 hadits yang sanadnya
sambung-menyambung kepada Rasulallah?”
al-Albani menjawab:
أنا لست محدث حفظ بل محدث
الكتاب.
“aku bukan lah muhadits yang menghafal hadits, tapi
aku hanyalah muhaddits kitab.”
Sipenannya pun mengomentari,”kalu begitu saya pun bisa menjadi muhaddits
kitab(buku)?!” al-Albani terdiam seketika mendengar jawaban sipenannya.
Meskipun begitu, uniknya dia berani
mentashih(menghukumi suatu hadits sebagai shahih) dan mentadh’ifkan(menghukumi
suatu hadits sebagai dha’if).
Oleh karena itu, al-Albani sering salah dalam meneliti
setatus
sebuah hadits sehingga sampai ribuan kesalahan, karena ilmunya
bertentangan dengan kaidah-kaidah para ulama hadits. Sesungguhnya, mentashih dan
mentad’ifkan suatu hadits tugas para hafidz saja, yang benar-benar mengert ilmu hadits, bukan sembarang orang,
apalagi yang tidak memiliki skill, kapabilitas, dan intergritas. (buku Ulama
sejagad Menggugat Salafi Wahabi)
Dialog diatas juga menggambarkan bahwa kaum Salafi Wahhabi melarang umat Islam mengikuti madzhab tertentu dalam bidang fiqih. Tetapi ajakan tersebut, sebenarnya upaya licik mereka agar umat Islam mengikuti madzhab yang mereka buat sendiri. Mereka mengharamkan taklid pada suatu madzhab, akan tetapi mereka mewajibkan pengikutnya untuk mati matian mengekor Ulama mereka.
Tentu
saja mengikuti madzhab para ulama salaf(generasi tiga abad pertama sepeninggal Rasulallah, yakni para sahabat , tabi'in, tabi' at-tabi'in.), lebih menenteramkan bagi kaum
Muslimin. Keilmuan, ketulusan dan keshalehan ulama salaf jelas diyakini
melebihi orang-orang sesudah mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar