Rabu, 03 Oktober 2012

Dialog Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi VS Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani


Sebuah perdebatan yang menarik tentang ijtihad dan taqlid, antara Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Syria, bersama Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, seorang tokoh Salafi Wahabi dari Yordania. Berikut ini dialognya:

Syaikh al-Buthi bertanya: “Bagaimana cara Anda memahami hukum-hukum Allah, apakah Anda mengambilnya secara langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?”
Al-Albani menjawab: “Aku membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Seandainya Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda simpan selama enam bulan. Kemudian uang itu Anda belikan barang untuk diperdagangkan, maka sejak kapan barang itu Anda keluarkan zakatnya. Apakah setelah enam bulan berikutnya, atau menunggu setahun lagi?”
Al-Albani menjawab: “Maksud pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa harta dagang itu ada zakatnya?”
Syaikh al-Buthi berkata: “Saya hanya bertanya. Yang saya inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini kami sediakan kitab-kitab tafsir, hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.”
Al-Albani menjawab: “Hai saudaraku, ini masalah agama. Bukan persoalan mudah yang bisa dijawab dengan seenaknya. Kami masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke sini untuk membahas masalah lain”.
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik kalau memang begitu. Sekarang saya bertanya, apakah setiap Muslim harus atau wajib membandingkan dan meneliti dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian mengambil pendapat yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah?”
Al-Albani menjawab: “Ya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban Anda, semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab? Bahkan kemampuan semua orang lebih sempurna dan melebihi kemampuan ijtihad para imam madzhab. Karena secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.”
Al-Albani menjawab: “Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taklid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara taklid dan ijtihad.”
(bukankah muqallid dan muttabi' sama pengertiannya dalam kontek taklid?/mengikuti pendapat para mujtahid. inyong)
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban muqallid?”
Al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti para mujtahid yang bisa diikutinya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apakah ia berdosa kalau seumpama mengikuti seorang mujtahid saja dan tidak pernah berpindah ke mujtahid lain?”
Al-Albani menjawab: “Ya, ia berdosa dan haram hukumnya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil yang mengharamkannya?”
Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan Allah padanya.”
(Saya kira para pengikut madzhab tidak mewajibkan pada dirinya untuk mengikuti salah satu madzahab yang diikutinya. Inyong)
Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam membaca al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ahnya siapa di antara qira’ah yang tujuh?”
Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.”
Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah yang berbeda-beda?”
Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Mengapa Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja, padahal Allah subhanahu wata’ala tidak mewajibkan Anda mengikuti qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca al-Qur’an sesuai riwayat yang dating dari Nabi Saw. secara mutawatir.”
Al-Albani menjawab: “Saya tidak sempat mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Saya kesulitan membaca al-Qur’an dengan selain qira’ah Hafsh.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Orang yang mempelajari fiqih madzhab asy-Syafi’i, juga tidak sempat mempelajari madzhab-madzhab yang lain. Ia juga tidak mudah memahami hukum-hukum agamanya kecuali mempelajari fiqihnya Imam asy-Syafi’i. Apabila Anda mengharuskannya mengetahui semua ijtihad para imam, maka Anda sendiri harus pula mempelajari semua qira’ah, sehingga Anda membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau Anda beralasan tidak mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan ketidakmampuan muqallid dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya kepada Anda, dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid harus berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak mewajibkannya. Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib menetap pada satu madzhab saja, ia juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab lain?”
Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”
(jawaban ngawur, mungkin kebingungan dari pada malu asal jawab aja.  inyong )
Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?”
Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian lain buku tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.”
Menjawab pertanyaan tersebut, al-Albani kebingungan menjawabnya.

Demikianlah dialog panjang antara Syaikh al-Buthi dengan al-Albani, yang didokumentasikan dalam kitab beliau al-Lamadzhabiyyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid asy-Syari’at al-Islamiyyah
Dialog tersebut menggambarkan, plin plannya al-Bani yang oleh  sebagian kaum salafi wahabi  mengklaim bahwa kepandaian al-Bani dalam ilmu hadits sebanding dengan keilmuan Imam Bukhari pada zamannya. 
 orang yang mengenal al-Abani atau pernah membaca hasil tulisan-tulisannya, pasti akan mendapatkan bukti jelas yang menunjukan bahwa dia bukanlah seorang yang ahli dalam ilmu hadits.

 Menurut pengakuannya sendiri , dia belajar adits hanya dari membaca buku-buku,  tanpa berguru pada seorang ahli hadits pun, dia tidak mempunyai sanad yang diakui dalam ilmu hadits. Sanadnya terputus, tidak ada yang sampai pada Rasulallah. Sanad  hadist-hadits riwayat al-Albani hanya kembali pada  buku-buku yang dia baca sendiri tanpa bimbingan seorang Syaikh mukhadits. Bahkan, dia pun mengaku bahwa sesungguhnya dia tidak hafal sepuluh hadits pun dengan sanad muttashil (bersambung) sampai pada Rasulallah. Perkara ini dibuktikan saat salah seorang pengacara (muhami) yang mengikuti majlis ilmunya bertanya padanya: “engkau seorang muhadits?”
“Ya” jawab al-Albani
“Bisakah engkau  meriwayatkan kepadaku 10 hadits yang sanadnya sambung-menyambung kepada Rasulallah?”  al-Albani menjawab:
أنا لست محدث حفظ بل محدث الكتاب.
“aku bukan lah muhadits yang menghafal hadits, tapi aku hanyalah  muhaddits kitab.”
Sipenannya pun mengomentari,”kalu begitu saya pun bisa menjadi muhaddits kitab(buku)?!” al-Albani terdiam seketika mendengar jawaban sipenannya.
 Meskipun begitu, uniknya dia berani mentashih(menghukumi suatu hadits sebagai shahih) dan mentadh’ifkan(menghukumi suatu hadits sebagai dha’if).
Oleh karena itu, al-Albani sering salah dalam meneliti  setatus  sebuah hadits sehingga sampai ribuan kesalahan, karena ilmunya bertentangan dengan kaidah-kaidah para ulama hadits. Sesungguhnya, mentashih dan mentad’ifkan suatu hadits tugas para hafidz  saja, yang benar-benar  mengert ilmu hadits, bukan sembarang orang, apalagi yang tidak memiliki skill, kapabilitas, dan intergritas. (buku Ulama sejagad Menggugat Salafi Wahabi)


Dialog diatas juga menggambarkan bahwa kaum Salafi Wahhabi melarang umat Islam mengikuti madzhab tertentu dalam bidang fiqih. Tetapi ajakan tersebut, sebenarnya upaya licik mereka agar umat Islam mengikuti madzhab yang mereka buat sendiri. Mereka mengharamkan taklid pada suatu madzhab, akan tetapi mereka mewajibkan pengikutnya untuk mati matian mengekor Ulama mereka.  
Tentu saja mengikuti madzhab para ulama salaf(generasi tiga abad pertama sepeninggal Rasulallah, yakni para sahabat , tabi'in, tabi' at-tabi'in.), lebih menenteramkan bagi kaum Muslimin. Keilmuan, ketulusan dan keshalehan ulama salaf jelas diyakini melebihi orang-orang sesudah mereka.

Tidak ada komentar: