Rasulullah
pernah bercerita tentang Bani Israil di zaman dahulu, dimana seorang yang
sangat shaleh selama seribu tahun usianya, siang hari dipergunakan berjihad di
jalan Allah dan malam harinya untuk beribadah kepada-Nya. Kemudian beliau
berdo’a, “Ya Allah telah engkau ciptakan umatku dengan usia yang pendek, dan
tentu dengan usia tersebut, pendek pula waktu dan kesempatan mereka beribadah
kepada-Mu.” Maka sebagai jawaban untuk penghibur hati Nabi, Allah
menganugerahkan malam Lailatul Qadar kepada umat ini. Hal ini bermakna, apabila
seorang beruntung mendapatkan kesempatan beribadah dibulan Ramadhan terutama
sepuluh yang terakhir, dan mendapatkan Lailatul Qadar, maka seolah-olah dia
telah beribadah selama 83 tahun 4 bulan lebih, atau selama seribu bulan.
Riwayat
lain menyebutkan, Rasul menyebut empat orang yang sangat shaleh di kalangan
Bani Israil yang menghabiskan hidupnya selama delapan puluh tahun
berturut-turut dengan beribadah kepada Allah. Mereka itu adalah Nabi Ayub as,
Zakaria as, Hizkeil as dan Yusa as. Mendengar kisah ini para sahabat pun merasa
takjub. Kemudian datanglah Malaikat Jibril as membacakan surat Al-Qadar yang
menjelaskan tentang keistimewaan malam Lailatul Qadar. Namun demikian hendaklah
dalam memahami sebuah riwayat tentang keshalehan Israiliyat (Ahlul Kitab) yang
menonjolkan sisi-sisi Yahudi zaman dahulu harus bersikap dalam mengamalkannya
penuh pertimbangan sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w, “Janganlah
kalian percaya kepada Ahlul Kitab dan jangan pula mendustakan mereka serta
katakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang telah diturunkan kepada
kami.’” (HR. Bukhari)
Bertolak
dari hadits diatas, maka hikayat Israiliyat itu terbagi menjadi tiga :
Pertama;
Bagian (Israiliyat) yang sesuai dengan apa yang ditunjukkan nash-nash shahih,
maka boleh diambil dan di sebarluaskan.
Kedua;
Bagian yang yang bertolak belakang dengan yang telah ditunjukkan oleh nash-nash
shahih atau kaidah-kaidah syar’iyah, maka tidak boleh diambil dan menyebarluaskannya.
Ketiga;
Bagian yang tidak bertentangan dan tidak pula sejalan dengan nash-nash shahih
syar’iyah, maka boleh menceritakannya tanpa meyakini kebenarannya. Cerita
israiliyat yang melatarbelakangi turunnya surat Al-Qadar adalah I’tibar
(pelajaran) sebagai sebuah motivasi keimanan dan ketakwaan melalui totalitas
beribadah dalam upaya meraih kemenangan melawan hawa nafsu.
Adapun
akan lebih bijaksana manakala seorang mukmin dalam meraih kebaikan-kebaikan
malam lailatul qadar tersebut didahului dan ditindaklanjuti dengan melakukan
delapan perkara, yaitu :
1.
Mengikuti jalannya Para Nabi dan Orang-orang Shaleh
“Allah hendak menerangkan (hukum
syari’at-Nya) kepada kalian, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang-orang
sebelum kalian (para Nabi dan Shalihin) serta hendak menerima taubat kalian.
Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS:An-Nisa’: 26).
Hanya
dengan mengikuti syari’at agama akan didapat jalan keselamatan, yaitu
jalannya para Nabi dan orang-orang Shalih.
2.
Bertaubat dan menjauhi Hawa Nafsu
“Dan Allah hendak menerima taubat
kalian, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kalian
berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).” (QS.An-Nisa’ : 27).
Hanya
dengan bertaubat seseorang akan meraih ketakwaan yang sempurna, karena manusia
tempatnya salah dan lupa. Tidak seorangpun yang terlepas dari kesalahan.
3.
Tidak Bermalas-malas dan Berlebih-lebihan dalam Ibadah
“Allah hendak memberikan keringanan
kepada kalian dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An-Nisa’ : 28).
Dengan syari’at agama islam Allah menghendaki kemudahan bukan sebaliknya,
karena kemampuan manusia sangatlah terbatas.
4.
Menjauhi Dosa-dosa Besar
“Jika kalian menjauhi dosa-dosa
besar diantara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami
hapuskan kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa yang kecil) dan Kami
masukkan kalian ke tempat yang mulia (syurga).” (QS. An-Nisa’ : 31). Karena
akibat dosa-dosa besar manusia yang akan menghalangi rahmat dan keberahan dalam
kehidupan ini.
5. Berawakal dan Ridha akan
Takdir Allah
“Sesungguhnya Allah tidak
menzhalimi seseorang meskipun sebesar zarrah. Dan jika ada kebajikan sebesar
zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya
pahala yang besar.” (QS. An-Nisa’ : 40). Baik buruk yang dialami manusia bukan
karena takdir Allah semata, tetapi juga sebagai cerminan akhlak dalam
kehidupan.
6.
Muhasabah (Introspeksi)
“Dan barang siapa yang mengerjakan
kejahatan dan menganiaya dirinya sendiri, kemudian memohon ampun kepada Allah,
niscaya ia mendapat Allah Maha Pengampun lagi Maha Bijaksana.” (QS.A-Nisa’ :
110).
Dengan
muhasabah manusia dapat mengetahui kekurangan dan kesalahan, sehingga
menyadari suatu keharusan perbaikan dalam segala hal.
7.
Tidak Menyekutukan Allah
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni
dosa mempersekutukan sesuatu dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain
dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan
sesuatu denga Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS.
An-Nisa’ : 116).
Meng-Esakan
Allah adalah kunci keimanan manusia, tanpanya tidaklah berarti apa yang telah
dilakukannya selama ini.
8.
Ukhuwah Islamiyah (tidak berpecah-belah)
“Dan orang-orang yang beriman kepada
Allah dan para Rasul-Nya serta tidak membedakan seorangpun diantara mereka,
kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. DA adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. An-Nisa’ : 152).
Seandainya
kemuliaan lailatul qadar menjadi tujuan terakhir, meskipun harus dengan
bersemangat dalam ibadah disepuluh akhir bulan Ramadhan, dengan berdzikir,
shalat dan sebagainya, tentu ada yang lebih ringan tetapi nilai pahalanya sama
dengannya. Sabda Rasulullah: “Barang siapa mengucapkan ”Laa Ilaaha Illallaah,
Alhaliimulkariim, Subhaanallaahu Rabbus Samaawaatis Sab’i Wa Rabbul ‘Arsyil
‘Azhiim (Tiada Tuhan selain Allah yang Maha Penyantun dan Maha Mulia, Maha Suci
Allah yang menciptakan tujuh langit dan ‘arsyi yang agung) tiga kali, adalah
seperti orang yang mendapatkan lailatil qadar.”
Dari
keterangan diatas sadarlah kita bahwa, kemuliaan yang didapat dari hikmah
lailatul qadar harus dapat memicu semangat dalam meraih kesuksesan di dua
dimensi kehidupan, yang tentunya akan lebih sempurna apabila sebelum dan
terlebih sesudah Ramadhan mau melakukan sesuatu yang bermanfaat bukan hanya
untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain.
Oleh
karena itu dalam illustrasi penulis, manusia haruslah sadar akan:
1.
Nafsu (Kotoran/noda) Manusia
membutuhkan pakaian yang bersih, noda tidaklah bersih hanya dengan ditergen
(pembersih) biasa (ibadah yang masih labil)
2.
Ramadhan (Detergent berkualitas)
Noda akan bersih Insya Allah hanya dengan detergent yang berkualitas, yaitu
(ibadah) Ramadhan.
3.
Puasa (Sikat pembersih)
Kemudian noda yang tertinggal akan bersih dengan disikat, yaitu Puasa.
4.
Takbir (Air pembilas)
Noda yang terlepas dari pakaian akan sirna apabila dibilas dengan air yang
bersih, yaitu gema takbir.
5.
Zakat (Pemeras air) Agar
pakaian cepat kering dan bersih hendaklah diperas dahulu, yaitu dengan zakat
fitrah dan zakat harta.
6.
Shalat I’id (Pengering/jemuran)
Pakaian yang sudah diperas hendaklah dikeringkan agar tidak mudah terkena noda
kembali, yaitu shalat I’id.
7.
Silaturrahmi (Mesin setrika)
Pakaian yang sudah kering agar lebih indah dan rapi hendaklah disetrika
terlebih dahulu, yaitu silaturrahmi untuk saling memaafkan serta berbagi suka
dengan sesama.
Dengan
demikian nafsu yang selama ini menjadi pengendali sikap buruk manusia akan
lebih terarah, apabila sadar dan memahami akan hikmah Ramadhan, terlebih mampu
mempergunakan lima kesempatan, yaitu hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit,
sempat sebelum sempit, muda sebelum tua dan kaya sebelum miskin. Sehingga
dihari yang fitri nanti setiap mukmin benar-benar bersih dari dosa dan noda.
Berpegang
teguh dengan tali (agama) Allah melalui Ukhuwah Islamiyah dan silaturrahmi akan
memberikan kontribusi kekuatan moril maupun materiil dalam menegakkan kalimat
Allah.
Dengan
demikian, kenyataan nilai kemuliaan ibadah di malam Lailatul Qadar yang sangat
diharapkan ini dapat diraih dengan kesempurnaan, bukan harapan mendapat sebuah
kemulian lewat ritual sesaat ibadah tahunan. Sangatlah tidak bijaksana manakala
dalam upaya meraih keselamatan dan kebahagiaan ini hanya terpaku dengan
kemuliaan Lailatul Qadar semata. Bukankah dibalik kemuliaannya ada pesan moral
untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan dalam usia yang pendek ini? Kemuliaan
malam Lailatul Qadar itu hanya dapat diraih oleh orang-orang yang Istiqamah dalam
ibadahnya. Wallahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar