Tema yang satu ini nampaknya masih tetap hangat untuk
didiskusikan. Jabat tangan. Walaupun hal ini adalah hal yang paling eksis di
perayaan Islam tersebut, namun silaturrahmi antar umat tidak berhenti, karena
manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial.
Jabat tangan, menjadi hal yang biasa
dilakukan ketika sebuah interaksi sosial muncul dan menuntut terwujudnya
kerekatan antar manusia. Memang jabat tangan adalah salah satu cara untuk
mendekatkan bahkan mengeratkan hubungan kita dengan sesama. Tak pandang
laki-laki atau perempuan, semua bercampur baur seakan menjadi satu tanpa sekat.
Hal itu telah menjadi adat. Meskipun adat tersebut tidak sepenuhnya menyeluruh
di setiap lapisan masyarakat, namun acap kali kita bisa melihat mushafahah
(jabat tangan) menjadi suatu refleks sosial yang sering dilakukan sehari-hari.
Sebagai contoh, kerap kita temui jabat tangan antara guru dan murid, sesama
teman, dan masih banyak lagi.
Menyikapi realita tersebut,
bagaimana Islam memandangnya?
Ada beberapa qoyyid (batasan)
dalam hukum mushafahah. Mushafahah yang dilakukan dengan orang kafir hukumnya
diperbolehkan (mubah). Sedangkan dengan sesama muslim disunahkan. dengan
catatan mushafahah itu dilakukan antara laki-laki dengan laki-laki, perempuan
dengan perempuan, ataupun antara laki-laki dengan perempuan yang masih dalam
kategori mahramnya. Termasuk juga dengan anak perempuan kecil yang tidak
membangkitkan syahwat dan istri sendiri atau budak perempuan. (Fatawa
ar-Romliy, V, 181)
Sedangkan hujjah (dalil) yang
menunjukkan kesunahannya jabat tangan adalah :
مَا مِنْ
مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْل أَنْ
يَتَفَرَّقَا
Tiada
dari dua orang muslim yang bertemu lalu bersalaman kecuali diampuni oleh Allah
dosa-dosanya sebelum keduanya dipisah. (Sunan
at-Tirmidzy, IX, 372)
Sebelum bicara lebih mendalam
mengenai mushafahah dengan wanita lain, setidaknya kita tahu dulu tentang hukum
melihat kepada wanita lain(ajnabiyyah). Karena ketentuan umumnya,
sesuatu yang haram dilihat itu haram disentuh berdasar qiyas aulawy. (Asna
al-Mathalib, XIV, 292)
Berikut adalah beberapa klasifikasi
hukum dalam hal melihat wanita tersebut antara lain, [1] Melihat wanita lain
tanpa adanya suatu hajat atau keperluan perihal melihat wanita tersebut. Maka hal
itu tidak boleh (haram), [2] Melihat istri atau budaknya sendiri. Dalam hal ini
diperbolehkan, [3] Melihat mahramnya atau budak yang dinikahkan dengan orang
lain. Hukumnya boleh selain antara pusar dan lutut, [4] Melihat wanita yang
akan dinikahi. Hukumnya boleh tetapi hanya pada anggota tubuh tertentu yaitu
pada wajah dan telapak tangan, [5] Melihat dengan tujuan mengobati.
Diperbolehkan pada bagian manapun yang dibutuhkan, [6] Melihat karena musyahadah
(menjadi saksi), seperti halnya ketika melihat lahirnya seorang bayi dari
kandungan ibunya, atau menyaksikan perbuatan zina untuk menjadi saksi. Hukumnya
boleh, [7] Melihat calon budak perempuan pada saat akan membelinya, pada
seluruh bagian badan diperbolehkan. Ini dikarenakan untuk melihat kualitas atau
cacat tidaknya budak tersebut. (Kifayah al-Akhyar, II, 35-40)
Selain hukum jawaz (boleh)
melihat perempuan yang disebutkan di atas, ada lagi melihat yang diperbolehkan.
Yaitu pada saat pandangan pertama, karena adanya udzur. Melihat pada pandangan
pertama artinya melihat sebagaimana sewajarnya melihat. Ini diperbolehkan
karena sulitnya menghindari pandangan. Ada sebuah riwayat Hadits yang berbunyi:
يَا عَلِيُّ لَا تُتْبِعْ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ
الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ
Wahai Ali, Jangan kamu ikuti
pandangan pertama dengan pandangan berikutnya. Karena yang pertama itu boleh
(dimaafkan) untukmu sedangkan yang berikutnya tidak. (Sunan Abi Dawud, VI, 54).
Lalu bagaimana hukumnya melihat
kepada mahram tapi disertai dengan timbulnya syahwat? Masihkah diperbolehkan?
Mahram merupakan seseorang yang
haram dinikah, disebabkan adanya faktor hubungan darah, penyusuan, semenda.
Jika melihat uraian di atas, melihat mereka hukumnya boleh selain bagian antara
pusar dan lutut. Tapi uraian di atas tidak menyebutkan ada atau tidaknya
syahwat.
Pada dasarnya semua pandangan yang
menimbulkan syahwat hukumnya haram, walaupun kepada mahramnya. Kecuali terhadap
istri atau budaknya, karena keduanya diciptakan untuk diajak bersenang-senang.
Dan telah dihalalkan syara’ karena adanya suatu akad. (Hasyiyah al-Jamal,
XVI, 260)
Lalu bagaimana dengan mushafahah?
Terlepas dari keharaman pandangan
dengan syahwat, hukumnya haram juga ketika terjadi kontak kulit antara
laki-laki dan perempuan. Meskipun tidak terjadi syahwat. Ini di-qiyas aulawiy-kan
dengan melihat. Melihat saja tidak boleh, apalagi menyentuh. Karena ada sebuah
kaidah fiqhiyyah yang mengatakan, “Ma haruma nadhruhu haruma massuhu“.
Jadi laki-laki tidak diperbolehkan melihat wanita dengan syahwat, tidak diperbolehkan
pula bermushafahah dengannya. Shohibu asnal matholib memberi argumen, yaitu
karena kontak kulit lebih “greng”. Buktinya, inzal (keluar sperma) yang
disebabkan kontak kulit itu membatalkan puasa, sedangkan inzal yang disebabkan
pandangan itu tidak membatalkan puasa. (Asna al-Mathalib, XIV, 292)
Realita sekarang, mushafahah antara
lawan jenis sudah sering terjadi. Hingga ada yang menganggap sudah menjadi
sebuah adat. Adat sering kali dijadikan alasan untuk menentukan dasar hukum. Di
Indonesia, adat memang dianggap suatu yang patut untuk dicontoh. Akan tetapi
seringkali adat masyarakat dapat bertentangan dengan hukum syara’. Karena ada
sebuah kaidah fiqhiyyah mengatakan:
العادة محكمة مالم يخالف الشرع
Adat dapat dijadikan dasar hukum
selama tidak bertentangan dengan syara’
Sudah jelas kaidah ini menunjukkan
penolakan bahwa mushafahah antar lawan jenis bukanlah adat yang patut
diteruskan. Sedangkan kebiasaan (‘urf) sendiri dibagi menjadi dua
bagian. Pertama, ‘urf sahih, yaitu kebiasaan yang benar. Kedua, ‘urf
fasid yaitu kebiasaan yang salah. Rupanya adat di Indonesia itu termasuk
dalam kategori yang kedua karena hal itu melanggar syara’. Itu artinya kaidah al-Adah
Muhakkamah tidak pas jika digunakan pada bab mushafahah ini. Dengan
demikian, seseorang harus menghindari kontak kulit dengan lawan jenis yang
bukan mahram dan tanpa ada hajat. (al-Asas Fi at-Tafsir, VII, 3730)
Hukum-hukum tentang musafahah yang
telah disebut semuanya di atas tadi, tidak berlaku hanya pada laki-laki kepada
perempuan saja. Tapi juga sebaliknya. Dengan dalil:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
Katakanlah
pada wanita yang beriman, hendaklah mereka menundukkan pandangannya. (QS. an-Nur, 31)
Solusinya, kami memberi beberapa
alternatif ketika pembaca menemui suatu permasalahan mushafahah antar lawan
jenis. Agar kedua belah pihak tetap saling menghargai, tanpa menyinggung
perasaan yang mengajak mushafahah. Alternatifnya, ketika ada yang mengajak
bermushafahah, kita bisa menangkupkan tangan ke arahnya tanpa ada unsur
menyentuh. Supaya pihak yang mengajak mushafahah mengerti bahwa antara keduanya
tak dibolehkan bersentuhan kulit. Apalagi ketika ada momen silaturahim. Dengan
demikian, silaturahim tetap berlaku, dan tetap tidak melanggar syara’.
wallahu a'lam bishawaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar