Jumat, 25 Juli 2014

LAILATULQODAR ANTARA HARAPAN VS KENYATAAN



Rasulullah pernah bercerita tentang Bani Israil di zaman dahulu, dimana seorang yang sangat shaleh selama seribu tahun usianya, siang hari dipergunakan berjihad di jalan Allah dan malam harinya untuk beribadah kepada-Nya. Kemudian beliau berdo’a, “Ya Allah telah engkau ciptakan umatku dengan usia yang pendek, dan tentu dengan usia tersebut, pendek pula waktu dan kesempatan mereka beribadah kepada-Mu.”  Maka sebagai jawaban untuk penghibur hati Nabi, Allah menganugerahkan malam Lailatul Qadar kepada umat ini. Hal ini bermakna, apabila seorang beruntung mendapatkan kesempatan beribadah dibulan Ramadhan terutama sepuluh yang terakhir, dan mendapatkan Lailatul Qadar, maka seolah-olah dia telah beribadah selama 83 tahun 4 bulan lebih, atau selama seribu bulan.
Riwayat lain menyebutkan, Rasul menyebut empat orang yang sangat shaleh di kalangan Bani Israil yang menghabiskan hidupnya selama delapan puluh tahun berturut-turut dengan beribadah kepada Allah. Mereka itu adalah Nabi Ayub as, Zakaria as, Hizkeil as dan Yusa as. Mendengar kisah ini para sahabat pun merasa takjub. Kemudian datanglah Malaikat Jibril as membacakan surat Al-Qadar yang menjelaskan tentang keistimewaan malam Lailatul Qadar. Namun demikian hendaklah dalam memahami sebuah riwayat tentang keshalehan Israiliyat (Ahlul Kitab) yang menonjolkan sisi-sisi Yahudi zaman dahulu harus bersikap dalam mengamalkannya penuh pertimbangan sesuai dengan  sabda Rasulullah s.a.w, “Janganlah kalian percaya kepada Ahlul Kitab dan jangan pula mendustakan mereka serta katakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang telah diturunkan kepada kami.’” (HR. Bukhari)
Bertolak dari hadits diatas, maka hikayat Israiliyat itu terbagi menjadi tiga :
Pertama; Bagian (Israiliyat) yang sesuai dengan apa yang ditunjukkan nash-nash shahih, maka boleh diambil dan di sebarluaskan.
Kedua; Bagian yang yang bertolak belakang dengan yang telah ditunjukkan oleh nash-nash shahih atau kaidah-kaidah syar’iyah, maka tidak boleh diambil dan menyebarluaskannya.
Ketiga; Bagian yang tidak bertentangan dan tidak pula sejalan dengan nash-nash shahih syar’iyah, maka boleh menceritakannya tanpa meyakini kebenarannya. Cerita israiliyat yang melatarbelakangi turunnya surat Al-Qadar adalah I’tibar (pelajaran) sebagai sebuah motivasi keimanan dan ketakwaan melalui totalitas beribadah dalam upaya meraih kemenangan melawan hawa nafsu.           
Adapun akan lebih bijaksana manakala seorang mukmin dalam meraih kebaikan-kebaikan malam lailatul qadar tersebut didahului dan ditindaklanjuti dengan melakukan delapan perkara, yaitu :
1. Mengikuti jalannya Para Nabi dan Orang-orang Shaleh
“Allah hendak menerangkan (hukum syari’at-Nya) kepada kalian, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang-orang sebelum kalian (para Nabi dan Shalihin) serta hendak menerima taubat kalian. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS:An-Nisa’: 26).
Hanya dengan mengikuti syari’at agama  akan didapat jalan keselamatan, yaitu jalannya para Nabi dan orang-orang Shalih.
2.   Bertaubat dan menjauhi Hawa Nafsu
“Dan Allah hendak menerima taubat kalian, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kalian berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).” (QS.An-Nisa’ : 27).
Hanya dengan bertaubat seseorang akan meraih ketakwaan yang sempurna, karena manusia tempatnya salah dan lupa. Tidak seorangpun yang terlepas dari kesalahan.
3. Tidak Bermalas-malas dan Berlebih-lebihan dalam Ibadah
“Allah hendak memberikan keringanan kepada kalian dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An-Nisa’ : 28). Dengan syari’at agama islam Allah menghendaki kemudahan bukan sebaliknya, karena kemampuan manusia sangatlah terbatas.

 
4.   Menjauhi Dosa-dosa Besar
“Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar diantara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapuskan kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa yang  kecil) dan Kami masukkan kalian ke tempat yang mulia (syurga).” (QS. An-Nisa’ : 31). Karena akibat dosa-dosa besar manusia yang akan menghalangi rahmat dan keberahan dalam kehidupan ini.
5.  Berawakal dan Ridha akan Takdir Allah
“Sesungguhnya Allah  tidak menzhalimi seseorang meskipun sebesar zarrah. Dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” (QS. An-Nisa’ : 40). Baik buruk yang dialami manusia bukan karena takdir Allah semata, tetapi juga sebagai cerminan akhlak dalam kehidupan.

6.   Muhasabah (Introspeksi)
“Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya sendiri, kemudian memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapat Allah Maha Pengampun lagi Maha Bijaksana.” (QS.A-Nisa’ : 110).
Dengan muhasabah manusia dapat mengetahui kekurangan dan kesalahan, sehingga  menyadari suatu keharusan perbaikan dalam segala hal.
7.   Tidak Menyekutukan Allah
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan sesuatu dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan sesuatu denga Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa’ : 116).
Meng-Esakan Allah adalah kunci keimanan manusia, tanpanya tidaklah berarti apa yang telah dilakukannya selama ini.
8.  Ukhuwah Islamiyah (tidak berpecah-belah)
“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan para Rasul-Nya serta tidak membedakan seorangpun diantara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. DA adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. An-Nisa’ : 152).
Seandainya kemuliaan lailatul qadar menjadi tujuan terakhir, meskipun harus dengan bersemangat dalam ibadah disepuluh akhir bulan Ramadhan, dengan berdzikir, shalat dan sebagainya, tentu ada yang lebih ringan tetapi nilai pahalanya sama dengannya. Sabda Rasulullah: “Barang siapa mengucapkan ”Laa Ilaaha Illallaah, Alhaliimulkariim, Subhaanallaahu Rabbus Samaawaatis Sab’i Wa Rabbul ‘Arsyil ‘Azhiim (Tiada Tuhan selain Allah yang Maha Penyantun dan Maha Mulia, Maha Suci Allah yang menciptakan tujuh langit dan ‘arsyi yang agung) tiga kali, adalah seperti orang yang mendapatkan lailatil qadar.”
Dari keterangan diatas sadarlah kita bahwa, kemuliaan yang didapat dari hikmah lailatul qadar harus dapat memicu semangat dalam meraih kesuksesan di dua dimensi kehidupan, yang tentunya akan lebih sempurna apabila sebelum dan terlebih sesudah Ramadhan mau melakukan sesuatu yang bermanfaat bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain.
Oleh karena itu dalam illustrasi penulis, manusia haruslah sadar akan:
1. Nafsu (Kotoran/noda) Manusia membutuhkan pakaian yang bersih, noda tidaklah bersih hanya dengan ditergen (pembersih) biasa (ibadah yang masih labil)
2. Ramadhan (Detergent berkualitas) Noda akan bersih Insya Allah hanya dengan detergent yang berkualitas, yaitu (ibadah) Ramadhan.
3. Puasa (Sikat pembersih) Kemudian noda yang tertinggal akan bersih dengan disikat, yaitu Puasa.
4. Takbir (Air pembilas) Noda yang terlepas dari pakaian akan sirna apabila dibilas dengan air yang bersih, yaitu gema takbir.
5. Zakat (Pemeras air) Agar pakaian cepat kering dan bersih hendaklah diperas dahulu, yaitu dengan zakat fitrah dan zakat harta.
6. Shalat I’id (Pengering/jemuran) Pakaian yang sudah diperas hendaklah dikeringkan agar tidak mudah terkena noda kembali, yaitu shalat I’id.
7. Silaturrahmi (Mesin setrika) Pakaian yang sudah kering agar lebih indah dan rapi hendaklah disetrika terlebih dahulu, yaitu silaturrahmi untuk saling memaafkan serta berbagi suka dengan sesama.
Dengan demikian nafsu yang selama ini menjadi pengendali sikap buruk manusia akan lebih terarah, apabila sadar dan memahami akan hikmah Ramadhan, terlebih mampu mempergunakan lima kesempatan, yaitu hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit, sempat sebelum sempit, muda sebelum tua dan kaya sebelum miskin. Sehingga  dihari yang fitri nanti setiap mukmin benar-benar bersih dari dosa dan noda.
Berpegang teguh dengan tali (agama) Allah melalui Ukhuwah Islamiyah dan silaturrahmi akan memberikan kontribusi kekuatan moril maupun  materiil dalam menegakkan kalimat Allah.
Dengan demikian, kenyataan nilai kemuliaan ibadah di malam Lailatul Qadar yang sangat diharapkan ini dapat diraih dengan kesempurnaan, bukan harapan mendapat sebuah kemulian lewat ritual sesaat ibadah tahunan. Sangatlah tidak bijaksana manakala dalam upaya meraih keselamatan dan kebahagiaan ini hanya terpaku dengan kemuliaan Lailatul Qadar semata. Bukankah dibalik kemuliaannya ada pesan moral untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan dalam usia yang pendek ini? Kemuliaan malam Lailatul Qadar itu hanya dapat diraih oleh orang-orang yang Istiqamah dalam ibadahnya. Wallahu A’lam



KISAH KIYAI KAMPUNG



Inilah kisah kiai kampung. Kebetulan kiai kampung ini menjadi imam musholla dan sekaligus pengurus ranting NU di desanya. Suatu ketika didatangi seorang tamu yang pernah mengenyam pendidikan di Timur Tengah. Tamu itu begitu PD (Percaya Diri), karena merasa mendapat legitimasi akademik, plus telah belajar Islam di tempat asalnya. Sedang yang dihadapi hanya kiai kampung, yang lulusan pesantren salaf.

Tentu saja, tujuan utama tamu itu mendatangi kiai untuk mengajak debat dan berdiskusi seputar persoalan keagamaan kiai. Santri liberal ini langsung menyerang sang kiai: “Sudahlah Kiai tinggalkan kitab-kitab kuning (turats) itu, karena itu hanya karangan ulama kok. Kembali saja kepada al-Qur’an dan hadits,” ujar santri itu dengan nada menantang. Belum sempat menjawab, kiai kampung itu dicecar dengan pertanyaan berikutnya. “Mengapa kiai kalau dzikir kok dengan suara keras dan pakai menggoyangkan kepala ke kiri dan ke kanan segala. Kan itu semua tidak pernah terjadi pada jaman nabi dan berarti itu perbuatan bid’ah,” kilahnya dengan nada yakin dan semangat.

Mendapat ceceran pertanyaan, kiai kampung tak langsung reaksioner. Malah sang kiai mendengarkan dengan penuh perhatian dan tak langsung menanggapi. Malah kiai itu menyuruh anaknya mengambil termos dan gelas.

Kiai tersebut kemudian mempersilahkan minum, tamu tersebut kemudian menuangkan air ke dalam gelas. Lalu kiai bertanya: “Kok tidak langsung diminum dari termos saja. Mengapa dituang ke gelas dulu?,” tanya kiai santai. Kemudian tamu itu menjawab: Ya ini agar lebih mudah minumnya kiai,” jawab santri liberal ini. Kiai pun memberi penjelasan: “Itulah jawabannya mengapa kami tidak langsung mengambil dari al-Qur’an dan hadits. Kami menggunakan kitab-kitab kuning yang mu’tabar, karena kami mengetahui bahwa kitab-kitab mu’tabarah adalah diambil dari al-Qur’an dan hadits, sehingga kami yang awam ini lebih gampang mengamalkan wahyu, sebagaimana apa yang engkau lakukan menggunakan gelas agar lebih mudah minumnya, bukankah begitu?”. Tamu tersebut terdiam tak berkutik.

Kemudian kiai balik bertanya: “Apakah adik hafal al-Qur’an dan sejauhmana pemahaman adik tentang al-Qur’an? Berapa ribu adik hafal hadits? Kalau dibandingkan dengan ‘Imam Syafi’iy siapa yang lebih alim?” Santri liberal ini menjawab: Ya tentu ‘Imam Syafi’iy kiai sebab beliau sejak kecil telah hafal al-Qur’an, beliau juga banyak mengerti dan hafal ribuan hadits, bahkan umur 17 beliau telah menjadi guru besar dan mufti,” jawab santri liberal. Kiai menimpali: “Itulah sebabnya mengapa saya harus bermadzhab pada ‘Imam Syafi’iy, karena saya percaya pemahaman Imam Syafi’iy tentang al-Qur’an dan hadits jauh lebih mendalam dibanding kita, bukankah begitu?,” tanya kiai. “Ya kiai,” jawab santri liberal.

Kiai kemudian bertanya kepada tamunya tersebut: “Terus selama ini orang-orang awam tatacara ibadahnya mengikuti siapa jika menolak madzhab, sedangkan mereka banyak yang tidak bisa membaca al-Qur’an apalagi memahami?,” tanya kiai. Sang santri liberal menjawab: “Kan ada lembaga majelis yang memberi fatwa yang mengeluarkan hukum-hukum dan masyarakat awam mengikuti keputusan tersebut,” jelas santri liberal.

Kemudian kiai bertanya balik: “Kira-kira menurut adik lebih alim mana anggota majelis fatwa tersebut dengan Imam Syafi’iy ya?.”. Jawab santri: “Ya tentu alim Imam Syafi’iy kiai,” jawabnya singkat. Kiai kembali menjawab: “Itulah sebabnya kami bermadzhab ‘Imam Syafi’iy dan tidak langsung mengambil dari al-Qur’an dan hadits,”.” Oh begitu masuk akal juga ya kiai!!,” jawab santri liberal ini.

Tamu yang lulusan Timur Tengah itu setelah tidak berkutik dengan kiai kampung, akhirnya minta ijin untuk pulang dan kiai itu mengantarkan sampai pintu pagar.
                                                                                                              


Minggu, 27 April 2014

Berdzikir dengan Pengeras Suara


Dzikir adalah perintah Allah SWT yang harus kita laksanakan setiap saat, dimanapun dan kapanpun. Allah selalu mendengar apapun yang kita ucapkan oleh mulut atau hati kita. Dzikir merupakan salah satu sarana komunikasi antara makhluk dengan khaliqnya. Dengan berdzikir seseorang dapat meraih ketenangan, karena pada saat berdzikir ia telah menemukan tempat berlindung dan kepasrahan total kepada Allah SWT.

Oleh karena itu, dzikir harus dilaksanakan dengan sepenuh hati, jiwa yang tulus, dan hati yang khusyu' penuh khidmat. Untuk bisa berdzikir dengan hati yang khusyu' itu diperlukan perjuangan yang tidak ringan, masing-masing orang memiliki cara tersendiri. Bisa jadi satu orang lebih khusyu' kalau berdzikir dengan cara duduk menghadap kiblat, sementara yang lain akan lebih khusyu' dan khidmat jika wirid dzikir dengan cara berdiri atau berjalan, ada pula dengan cara mengeraskan dzikir atau dengan cara dzikir pelan dan hampir tidak bersuara untuk mendatangkan konsentrasi dan ke-khusyu'-an. Maka cara dzikir yang lebih utama adalah melakukan dzikir pada suasana dan cara yang dapat medatangkan ke-khusyu’-an.

Imam Zainuddin al-Malibari menegaskan: “Disunnahkan berzikir dan berdoa secara pelan seusai shalat. Maksudnya, hukumnya sunnah membaca dzikir dan doa secara pelan bagi orang yang shalat sendirian, berjema’ah, imam yang tidak bermaksud mengajarkannya dan tidak bermaksud pula untuk memperdengarkan doanya supaya diamini mereka." (Fathul Mu’in: 24). Berarti kalau berdzikir dan berdoa untuk mengajar dan membimbing jama’ah maka hukumnya boleh mengeraskan suara dzikir dan doa.

Memang ada banyak hadits yang menjelaskan keutamaan mengeraskan bacaan dzikir, sebagaimana juga banyak sabda Nabi SAW yang menganjurkan untuk berdzikir dengan suara yang pelan. Namun sebenarnya hadits itu tidak bertentangan, karena masing-masing memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Yakni disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

Contoh hadits yang menganjurkan untuk mengeraskan dzikir riwayat Ibnu Abbas berikut ini: "Aku mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dan berdoa dengan suara keras) apabila mereka selesai melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan masjid.” (HR Bukhari dan Muslim)

Ibnu Adra’ berkata: "Pernah Saya berjalan bersama Rasulullah SAW lalu bertemu dengan seorang laki-laki di Masjid yang sedang mengeraskan suaranya untuk berdzikir. Saya berkata, wahai Rasulullah mungkin dia (melakukan itu) dalam keadaan riya'. Rasulullah SAW menjawab: "Tidak, tapi dia sedang mencari ketenangan."

Hadits lainnya justru menjelaskan keutamaan berdzikir secara pelan. Sa'd bin Malik meriwayatkan Rasulullah saw bersabda, "Keutamaan dzikir adalah yang pelan (sirr), dan sebaik rizki adalah sesuatu yang mencukupi." Bagaimana menyikapi dua hadits yang seakan-akan kontradiktif itu. berikut penjelasan Imam Nawawi:
وَقَدْ جَمَعَ النَّوَوِيُّ بَيْنَ الأَحَادِيْثِ الوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الجَهْرِ بِالذِّكْرِ وَالوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ الإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّياَءَ أَوْتَأَذَّى المُصَلُّوْنَ أَوْالنَّائِمُوْنَ. وَالجَهْرُ أَفْضَلُ فِيْ غَيْرِ ذَالِكَ لِأَنَّ العَمَلَ فِيْهِ أَكْثَرُ وَلِأَنََّ فَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى إِلَى السَّامِعِيْنَ وَلِأَنَّهُ يُوْقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إِلَى الفِكْرِ وَيُصَرِّفُ سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيُطَرِّدُ النَّوْمَ"

“Imam Nawawi menkompromikan (al jam’u wat taufiq) antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan hadist yang mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut, bahwa memelankan dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya', mengganggu orang yang shalat atau orang tidur, dan mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih banyak mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai, terus merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan pendengaran jama’ah, menghilangkan ngantuk serta menambah semangat." (Ruhul Bayan, Juz III: h. 306).

Kesimpulannya, bahwa dzikir itu tidak mesti harus dengan suara keras atau pelan tetapi tergantung kepada situasi dan kondisi; jika dalam kondisi ingin mengajarkan, membimbing dan menambah ke-khusyu’-an maka mengeraskan suara dzikir itu hukumnya sunnah dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bahkan dalam beberapa keadaan sangat dianjurkan untuk mengeraskan dzikir.

Namun disunnahkan memelankan suara dzikir jika sekiranya mengeraskan suara dzikir dapat menggangu ke-khusyu’-an diri sendiri dan orang lain, mengganggu orang orang tidur dan menyebabkan hati riya’. Bagi kita umat muslim hendaklah menghindari mengeraskan suara dzikir yang dapat mengganggu kenyamanan dan ketenangan masyarakat. Wallahu a’lam bis shawab.